FRAGMEN 3

162 18 1
                                    

[Kapan foto Sahla kamu kirim?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Kapan foto Sahla kamu kirim?

Pusat notifikasi menujukan sebuah pesan yang berasal dari Mama. Aku memilih untuk tidak membukanya, karena apa pun alasan yang diutarakan, dia tidak akan mengindahkan. Sore ini, aku baru saja selesai melakukan zoom meeting dengan rekan kerja. Meski berada di luar kota, bukan berarti bisa berleha-leha. Begitulah memang adanya dunia kerja.

Selanjutnya, aku bergegas membereskan laptop juga beberapa file yang berserakan di atas ranjang. Saking fokusnya bekerja, bahkan sampai melewatkan makan siang. Sejenak aku berpikir, mungkin lebih baik segera menemui Sahla guna memenuhi keinginan Mama. Waktuku di sini tidak lama. Jika bukan sekarang, besok belum tentu bisa menemui gadis itu.

Berbekal ponsel, aku memesan taksi online.

Jam tangan menunjukkan pukul 16.42. Dari hotel, membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam agar bisa sampai di kediaman Tante Vanya dan Om Arya. Menilik waktu, seharusnya saat sampai di sana Sahla sudah pulang sekolah. Kali ini aku tidak membawa buah tangan seperti beberapa hari lalu, karena niatku di sana tidak akan lama. Sebenarnya bisa saja kupinta foto gadis itu melalui pesan WhatsApp, tetapi aku berniat memotret keadaan rumah Tante Vanya dan Om Arya supaya Mama tidak lagi menanyakan banyak hal mengenai keadaan keluarga tersebut.

"Bukan orang sini, ya, Mas?" tanya sopir taksi ramah, setelah mobil melaju membelah keramaian jalanan. Jam pulang kerja membuat beberapa titik macet. Biarpun macet, setidaknya tidak separah di Jakarta.

"Nggak juga, Pak. Saya lahir dan besar di kota ini, tapi memang sudah lama pindah ke Jakarta karena Papa kena mutasi. Mau nggak mau, jadinya harus ikut," sahutku sambil terkekeh. Kami terlibat obrolan ringan, sampai tidak terasa taksi sudah menepi di depan rumah Tante Vanya dan Om Arya.

"Mau ngapel, ya, Mas? Pacarnya orang sini?" Sopir taksi bertanya kembali, begitu aku keluar dari mobil.

Alih-alih menanggapi, aku hanya tersenyum lalu berkata, "Makasih, ya, Pak," sebelum membuka pagar dan berjalan memasuki pelataran rumah yang terlihat sepi.

Begitu sampai di teras, pintu kuketuk berulang kali. Namun, tidak ada sahutan. Sesekali kutengok lantai dua. Lampunya terlihat menyala. Dengan hati-hati, hendel didorong. Ternyata pintu tidak dikunci.

"Permisi!" Aku berseru sambil berjalan memasuki rumah. Saat netra mengelilingi ruangan, tidak ada tanda-tanda adanya kehidupan. Alhasil, aku memilih menaiki anak tangga menuju lantai dua. Khawatir terjadi sesuatu, tangan ini kembali mendorong pintu yang posisinya paling dekat dengan ujung tangga.

Selang berapa lama pintu terbuka. Aku mematung menatap seorang gadis yang tengah bergelung dengan beberapa alat makeup yang tidak kuketahui jenisnya. Dari balik cermin, gadis itu menatapku dengan pipi memerah. Dia bergegas menutupi wajah menggunakan kedua tangan sambil berteriak, "K-kak Damian, kenapa ada di sini?"

Senyum mengembang melihat tingkah malu-malu Sahla. Dengan langkah pelan, kuhampiri gadis itu. "Pintunya nggak dikunci, di bawah juga sepi. Kamu sudah bisa dandan sekarang. Sini, coba Kakak lihat."

CherishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang