FRAGMEN 9

215 13 3
                                    

 "Damian!" Teriakan seorang perempuan memekakkan telinga, membuat beberapa penghuni kosan yang tengah bersantai di sekitar teras juga ruang tamu menoleh. Siapa lagi pelakunya jika bukan Brisha. Kupikir penolakan demi penolakan yang kutunjukkan akan membuatnya berhenti, tapi ternyata tidak.

"Ngapain lo di sini?" jawabku sambil memperhatikannya yang membawa sebuah koper. Jangan bilang, dia akan pindah ke sini. Semoga saja hal itu tidak terjadi, karena jika ya, akan terjadi bencana besar dalam hidupku.

"Memang nggak boleh mau ketemu teman lama?" Dia terkikik mendapati reaksiku. Ya, gadis ini memang temanku semasa SMA hingga kuliah. Kami berada di kampus yang sama, dengan jurusan yang berbeda. Meski begitu, jika ada jam kosong atau saat akhir pekan, kami sering menghabiskan waktu bersama. Tidak hanya berdua, melainkan dengan teman-teman yang lain.

Pertanyaan Brisha malas kujawab. Kami pun berdiri di teras diisi dengan suara obrolan penghuni kos yang lain. Kini tidak ada lagi yang memandang, karena semua orang sibuk dengan urusan masing-masing.

"Aku baru balik dari Malang, loh. Begitu sampe, langsung mampir ke sini. Nggak ada niat ngajak aku masuk? Sudah lama tunggu kamu pulang soalnya." Tanpa ditanya, Brisha menjelaskan perihal keberadaannya. Aku bukan tipe orang yang membawa masuk sembarang orang, jadi langsung saja kuajak dia duduk di ruang tamu, begitu penghuni ruang tamu sebelumnya sudah kembali ke kamar masing-masing.

"Ada apa?" tanyaku begitu kami duduk di ruang tamu. Kuulurkan segelas air mineral kemasan yang selalu tersedia di atas meja. Wajar aku bertanya demikian, karena terakhir bertemu adalah ketika Brisha datang ke kantor guna mengantarkan bekal makan siang. Setelah itu, hanya pesan yang gadis itu kirimkan.

Brisha menerima air mineral yang kuulurkan. Gadis itu menyesapnya sedikit, kemudian meletakkannya di atas meja. Di detik berikutnya dia menunduk dengan kedua tangan saling bertautan di atas paha. "Aku mau bicara serius sama kamu. Kita ... apa nggak ada kemungkinan buat balik kayak dulu?"

Aku tersenyum sambil menyandarkan punggung di kepala kursi. Kemungkinan untuk kembali seperti dulu, pertanyaan yang tidak kuharapkan. "Gue tanya sama lo, gelas yang pecah apa bisa kembali utuh?"

Brisha mendongak, kemudian membalas dengan gelengan.

"Nah, begitu pun sama hubungan kita. Sekeras apa pun berusaha buat kembali utuh, semua bakal sia-sia, karena nggak akan sama kayak sebelumnya. Yang ada, kita malah terluka karena terlalu maksain kehendak."

Tertegun adalah hal yang Brisha lakukan. Mungkin gadis itu tengah mencerna kalimat yang kuutarakan. Masa bodoh dengan pemilihan kataku yang terkesan kasar. Jika tidak ditegaskan seperti ini, Brisha akan selalu berharap masih ada kesempatan untuk dirinya. "Damian ... kalau gitu, apa masih mungkin buat kita ... berteman?"

Sontak senyumku kembali mengembang. Inilah yang kuharapkan dari dulu. Hubungan kami diawali dengan pertemanan, akhir saling menghindari sebenarnya bukanlah yang kuharapkan. Namun, melihat perhatian Brisha yang berlebihan, jalan tersebut kuambil, karena merasa tidak nyaman. "Kenapa nggak, selama lo tahu batasan."

"Jadi, mulai sekarang kita temenan?"

Aku membalas dengan anggukan mantap. "Ya. Memang sejak kapan kita musuhan?"

Raut wajah Brisha kini berubah cerah. Berulang kali gadis itu menggumamkan kata, "Yes, kita temenan lagi! Makasih, Damian. Kalau gitu, aku pulang dulu. Lain kali kita hangout bareng sama teman-teman yang lain. Bye, Damian."

Sesingkat itukah? Ah, syukurlah semuanya berjalan baik. Kupikir, akan terjadi penawaran alot. Waktu mengubah Brisha. Seiring berjalannya waktu yang kugunakan untuk menghindar, ternyata digunakan gadis itu dengan benar-benar untuk mengintrospeksi diri. Aku tahu, hal ini tak mudah untuk Brisha, tapi ... bukankah hidup harus selalu berjalan maju?

***

Selepas mandi, ponsel berbunyi. Kuhampiri ponsel yang tergeletak di atas nakas. Notifikasi menunjukkan puluhan pesan dari grup Ikan Lele, juga sebuah pesan dari kontak tanpa nama. Nomor itu sudah lama kuhapus dari daftar kontak, tapi dia tidak pernah absen mengirimiku pesan. Bahkan, hal remeh pun sering gadis itu bagi. Mungkin tujuannya untuk menarik perhatianku. Nomor itu milik Brisha.

[Damian, weekend ada waktu? Ayo kumpul sama yang lain.

Padahal belum 24 jam aku mengatakan bahwa kami bisa berteman, tapi secepat itu Brisha beraksi. Aku pun mencoba mengingat-ingat, dan berakhir dengan membalas:

[Sorry, weekend ini gue mau balik ke rumah.

Ya, sudah lama aku tidak mengunjungi Mama dan Papa. Saking betahnya di kosan, aku bahkan sampai lupa bagaimana suasana rumah yang sesungguhnya. Sesekali aku hanya berkirim pesan dengan mereka, itu pun bahasannya tidak jauh dari hal-hal seputar keadaan dan pekerjaan. Meski menetap di Jakarta, Papa sering keluar kota karena urusan pekerjaan. Jika saat di kampung halaman Mama menjadi ibu rumah tangga, begitu sampai di Jakarta beliau mulai menjalankan UMKM hingga mempunyai toko dan cabang di beberapa tempat. Papa yang jarang berada di rumah pun mendukung, karena sadar tidak bisa selalu berada di rumah. Bisnis oleh-oleh yang dijalankan Mama bagi Papa merupakan pengalihan.

[Aku temenin kamu pulang, gimana?

Kan, Brisha ini suka mencari kesempatan dalam kesempitan. Sepertinya dia belum bisa beradaptasi dengan hubungan pertemanan kami. Saat SMA gadis itu memang sering berkunjung ke rumah, alasannya jelas untuk belajar bersama. Namun sekarang, alasan apa yang akan dia pakai? Bagiku, tidak ada alasan untuknya mengunjungi rumahku bersama.

[Nggak usah. Gue mau quality time sama keluarga.

Setelah itu, Brisha pun mengirimkan balasan seolah kecewa. Aku tidak berniat menanggapi. Dia selalu memelas, dan aku malas bila ujung-ujungnya gadis itu kembali membahas seputar hubungan kedekatan kami dulu. Lagi pula, masa itu sudah berlalu dan jelas tidak akan bisa diulang kembali. Daripada meladeni ocehan Brisha dalam bentuk ketikan, aku memilih membuka room chat bersama Sahla. Last seen-nya tidak diaktifkan, gadis itu benar-benar menjauhiku.

[Sahla.

Chat tersebut kukirim, tapi hingga nyaris setengah jam, tetap centang satu. Profil gadis itu pun tidak menggunakan foto. Apa mungkin kontakku diblokir? Hal ini harus kupastikan lagi. Aku pun menelepon, dan mendapatkan balasan, "Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi. Silakan periksa kembali nomor tujuan Anda."

Rasanya aku sudah melakukan kesalahan besar, nyatanya hanya menasihati. Beginikah sikap anak muda zaman sekarang? Jika memang salah, bukankah menegur adalah hal yang wajar? Sudahlah, aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran gadis itu. Mungkin baginya, laki-laki itu jauh lebih berarti daripada diriku. Tidak peduli adalah hal yang harusnya kulakukan saat ini. Jangan salahkan bila sesuatu yang buruk terjadi, toh aku sudah berinisiatif mengingatkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 28, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CherishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang