Hm, nggak, dan iya adalah tiga kata ajaib yang selalu menjadi andalan Sahla. Kadang aku bertanya-tanya, apa dia belajar Bahasa Indonesia di sekolah? Kenapa kosakatanya hanya itu-itu saja? Singkat dan padat menjadi khas jawaban, tidak hanya di chat, saat melakukan panggilan pun sama saja. Aku harus lebih banyak mengambil inisiatif, agar bahasan kami tidak hanya itu-itu saja.
Sesuai dengan janji, sesampainya di Jakarta aku segera mengirimnya chat melalui WhatsApp. Komunikasi kami pun tidak begitu intens, hanya menghubungi di saat tertentu saja. Melihat cara komunikasi Sahla, apa yang bisa diharapkan? Bisa jadi hal ini terjadi, karena perbedaan usia kami yang lumayan jauh. Sulit rasanya mencari bahasan yang sesuai.
"Makan siang, Jon!" seru Yuda begitu keluar dari kubikelnya. Pemuda itu memang lebih suka memanggil menggunakan nama panjangku, Jonatha. "Ada kafe baru buka di bawah, markicob, mari kita coba."
"Duluan aja. Gue masih ada kerjaan," jawabku basa-basi. Sesungguhnya aku sedang malas keluar, mungkin akan memesan makanan secara online.
"Ya sudah, gue duluan kalo begitu." Dia pun berjalan menjauhi ruang kerja bersama rekan yang lain.
Kali ini aku menjalani rutinitas seperti biasa; kerja, pulang ke kosan, tidur, dan saat weekend kumpul bersama teman-teman. Semua kembali seperti semula. Sepulangnya dari kampung halaman, aku belum sempat bertemu dengan Mama. Sejujurnya sengaja menghindar, karena tidak tahu harus menjawab apa saat dia menanyakan tentang Sahla. Tidak mungkin, kan, mengatakan bahwa aku sempat memergoki orang tuanya sedang bertengkar. Meski mendengar, perkaranya belum jelas.
Sahla hanya teman masa kecil bagiku, tapi entah mengapa, aku kadang khawatir dengan kondisinya. Aku menanamkan bahwa hal ini wajar, karena di usia semuda itu, dia hidup di dalam keluarga yang tidak harmonis, juga dikelilingi teman-teman yang suka menindas. Bisa bertahan sampai sekarang merupakan keajaiban besar.
Iseng, aku menjelajah galeri, kemudian mengirimkan foto candid Sahla yang kuambil saat kami tengah berada di balkon rumahnya. Aku penasaran, reaksi apa yang akan ditunjukkan gadis itu begitu melihat fotonya masih tersimpan di galeri ponselku.
[Masih ingat ini siapa?
Belum ada balasan. Akun WhatsApp gadis itu pun terlihat tengah offline. Mungkin dia masih di sekolah saat ini. Alhasil, aku memilih memesan makanan, kemudian mengisi waktu menunggu dengan bermain game. Saat sedang seru-serunya, pusat notifikasi menunjukkan ada satu pesan baru. Bergegas aku keluar dari aplikasi game. Kupikir Sahla, tapi ternyata bukan.
[Damian, bisa kita makan siang sama-sama? Udah lama kita nggak ketemu.
"Brisha, mau apa lagi dia?" monologku sebelum mengirimkan balasan.
[Sorry, gue sibuk.
***
Begitu merebahkan diri di atas ranjang, barulah terdengar notifikasi pesan masuk yang berasal dari Sahla. Setelah meraih ponsel di atas nakas, kulihat jam yang berada di depan layar menunjukkan pukul 22.00. Padahal kami tinggal di zona waktu yang sama, apa sesulit itu bagi Sahla untuk mengaktifkan ponsel? Di tilik dari statusnya yang merupakan pelajar SMA, harusnya gadis itu memiliki waktu luang lebih banyak daripada orang dewasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cherish
Teen FictionTunggulah di situ! Aku yang akan datang ke tempatmu, karena aku tahu ... kamu mudah tersesat. - Tato H. Raharjo -