Pagi-pagi, kubikelku sudah direcoki dengan kehadiran Yuda. Pemuda itu kembali bertanya, siapa gadis yang lama membalas chat-ku, lalu berkata akan mengajarkan 1001 cara mendapatkan gadis pujaan. Konyol memang. Harusnya aku tidak bertanya mengenai hal tersebut semalam, jika tahu akan berujung seperti ini. Rekan kerja bahkan terheran-heran, karena melihat Yuda bolak-balik ke kubelku. Terkadang, dia sering mencuri pandang saat aku tengah membalas pesan.
"Kenapa, sih, anak itu?" Mbak Fara yang terheran-heran langsung mengutarakan keanehan yang ditemuinya pada Yuda.
Rekan kerja yang lain hanya memberikan gelengan atau mengangkat bahu sebagai jawaban tidak tahu.
"Anak itu, maksudnya gue?" Yuda yang mendengar pertanyaan Mbak Fara langsung menunjuk diri sendiri dengan tampang tidak percaya.
"Ya, siapa lagi yang hari ini sibuk bolak-balik gangguin Damian kalau bukan lo, Yud. Nggak kayak biasanya banget." Dengan tetap fokus pada cermin, Mbak Fara sibuk membubuhkan lipstik di bibirnya.
"Udah, Mbak, biarin aja. Anggap angin yang lewat," kataku sambil kembali fokus pada layar komputer, mengecek beberapa file sebelum dicetak.
"Angin pala lo!" Yuda yang tidak terima disamakan dengan angin buru-buru kembali ke meja kerjanya. Sebelum kembali, pemuda itu masih sempat-sempatnya berbisik, "Ingat, ya, Jo, kalau butuh bantuan segera hubungi Mas Yuda, si pakar cinta."
Alah, ngakunya pakar cinta. Padahal, aslinya lo itu jomlo juga. Ingin sekali kuteriakkan kalimat tersebut, tapi harus ditahan dalam benak, karena sadar akan menimbulkan huru-hara. Tentu Yuda tidak akan tinggal diam, bila merasa harga dirinya direndahkan. Selain itu, ini bukan saat yang tepat untuk bercanda, lebih baik kembali bekerja, dan ... sepertinya aku butuh kepastian apakah yang dikatakan Yuda benar mengenai trik membalas pesan guna membuat orang lebih penasaran.
Kebetulan sekali, keadaan kantor sedang kondusif. Orang-orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, dan yang lebih penting, Yuda sudah tidak lagi mengawasi hal yang tengah kulakukan. Sejujurnya, aku ingin menampik ucapan si pakar cinta tersebut, tapi apalah daya, diri ini sedang berusaha mencari kebenaran. Alhasil, kukirimkan pesan pada Sahla.
[Sahla, nanti kabari Kakak, ya, gimana ulangannya.
Mari kita tunggu, apakah Yuda pantas mendapat predikat sebagai pakar cinta?
***
Saat memasuki jam makan siang, kantor digegerkan dengan kedatangan Brisha. Gadis itu menggunakan celana bahan serta blazer berwarna cream. Tampilannya biasa saja, tapi entah mengapa membuat orang-orang yang akan pergi makan siang memutar tujuan. Mereka kembali ke meja masing-masing, berpura-pura mengerjakan sesuatu, padahal aku yakin tujuan utamanya ingin memperhatikan interaksi antara kami.
"Damian, kenapa chat-ku nggak kamu bales, sih?" tanyanya begitu kami berdiri berhadapan, disaksikan karyawan lain, termasuk Yuda dan Mbak Fara. "Aku juga berulang kali ngajak kamu ketemu, tapi selalu nggak bisa."
"Sorry, gue memang lagi sibuk belakangan," jawabku tanpa berbasa-basi. Malas rasanya. Lagi pula jam istirahat terbatas. Jika berbasa-basi, hanya akan menghabiskan waktu saja. "Btw, ada apa memangnya?"
Raut wajah Brisha terlihat tidak senang mendengar jawabanku. Namun, buru-buru gadis itu menyembunyikan dalam senyum palsu. "Aku cuma kangen aja sama kamu, karena sudah lama kita nggak ketemu. Oh, iya, aku bawain makanan buat kamu. Ini aku masak sendiri. Semoga kamu suka, ya."
Aku menatap kotak makan yang diulurkan oleh Brisha, tanpa berniat untuk mengambilnya. "Ya, udah, kalau nggak ada hal penting, lo bisa pergi."
"Oh." Brisha terlihat kaget dengan ucapanku. Gadis itu pun meletakkan kotak makan tersebut di meja terdekat, sebelum berkata, "Aku ... pergi dulu kalau begitu. Kalau nggak pergi sekarang, kamu pasti nggak akan sempet makan siang. Sampai ketemu lagi, Damian."
Aku mengangguk sebagai jawaban. Baguslah Brisha paham, kalau tidak, mungkin aku akan meninggalkan gadis itu sendirian. Kini yang kulakukan hanya melihat punggungnya yang sudah tidak lagi terjangkau pandangan. Dulu, mungkin aku akan senang dengan perhatian seperti ini, tapi sekarang bukanlah dulu. Waktu terus berlalu, otomatis kami harus melupakan kejadian yang lalu. Bagiku, masa lalu, ya, masa lalu. Biarlah semua berlalu. Kini yang harus kulakukan adalah berusaha dan menatap masa depan, bukannya bergelung dengan kejadian yang tidak dapat diulang.
"Sok jual mahal banget, sih, lo, Jon," kata Yuda sambil menghampiriku.
Aku pun terkekeh, sebelum merangkul bahu pemuda itu. Tiba-tiba ide jahil terlintas di dalam kepala. Bibirku berucap, "Lah, kata Mas Yuda harus pakai trik jinak-jinak merpati. Jangan bilang lo lupa?"
Yuda melepas rangkulanku pada bahunya secara paksa, lalu membuat gerakan seolah ingin muntah. "Najis! Kok, gue geli, ya, denger lo panggil gue mas?"
"Tadi pagi yang bilang, 'Ingat, ya, Jo, kalau butuh bantuan segera hubungi Mas Yuda, si pakar cinta', siapa?"
"Gue khilaf, tapi soal pakar cinta itu beneran, loh, Jon. Gue punya 1001 cara buat—"
"Seribu satu cara itu mending lo aplikasiin sama diri sendiri dulu. Kalau sudah ada hasil, baru gue percaya," potongku sambil berjalan meninggalkan kantor. Sebelum benar-benar keluar, aku menunjuk kotak makan yang tergeletak di atas meja. "Buat lo."
Terdengar sorakan senang Yuda. Sepertinya pemuda itu tidak akan keluar untuk makan siang, karena sudah memiliki jatah dari Brisha. Rekan kerja yang sempat mencuri dengar, satu per satu menyusulku menuju kantin. Aku tidak habis pikir, kenapa resepsionis membiarkan gadis itu memasuki kantor kami? Padahal sudah jelas, hanya karyawan dan orang yang memiliki kepentingan saja yang bisa memasuki kantor.
Sambil menunggu lift berhenti di kantin yang terletak di basemen, aku merogoh ponsel. Terdapat notifikasi WhatsApp masuk dari Sahla. Buru-buru aku membuka aplikasi dan membacanya.
[Ulangannya lancar, Kak.
Refleks, bibirku tersenyum. Terpatahkan sudah trik yang dielu-elukan Yuda. Kan, apa aku bilang, Sahla ini hanya gadis polos yang tahu caranya melakukan segala hal demi mendapatkan teman. Meski sudah SMA, aku yakin, gadis itu masihlah Sahla yang kukenal dulu.
Saking senangnya mendapat jawaban dari keraguan, bahkan aku baru sadar bahwa saat ini sudah berada di kantin. Buru-buru aku memesan makanan, kemudian memilih tempat paling pojok dan sepi. Sambil menunggu makanan datang, aku ingin mencoba peruntungan. Jari ini bergegas menekan tombol memanggil pada kontak Sahla. Harap-harap cemas, aku menunggu, hingga pada bunyi keseskian barulah mendapat sahutan.
"Halo, Kak Damian."
Tidak bisa lagi kusembunyikan rasa bangga. Awalnya, kupikir tidak akan diangkat. Namun, nyatanya malah di luar dugaan. Ingin sekali aku bersorak, mengatakan pada Yuda bahwa gadis yang kuhubungi bukan sedang memainkan trik, melainkan memang baterai ponsel habis adalah alasan yang sesungguhnya. Buktinya, jangankan chat, panggilan saja diangkat tanpa harus menunggu dihubungi berulang kali.
"Hai. Syukurlah kalau ujiannya lancar. Kakak turut senang. Kamu udah makan siang?"
Terdengar keriuhan di seberang sana, membuatku bertanya-tanya, di mana keberadaan gadis itu sekarang? "Lagi, Kak. Sekarang lagi istirahat kedua. Maaf, ya, agak beri—"
Belum sempat ucapan selesai, tidak lagi terdengar suara Sahla di seberang sana. Berulang kali aku memanggil nama gadis itu, tetapi tidak ada sahutan. Karena penasaran, aku pun menatap layar ponsel. Ternyata panggilan sudah tidak terhubung. Kebahagiaan yang baru saja hadir tidak berlangsung lama. Lantas, apa tujuan Sahla mematikan sambungan secara sepihak?
Malas berasumsi sendiri, aku mengubah setelan menjadi mode diam. Sekarang lebih baik makan siang, sebelum kembali berkutat dengan pekerjaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cherish
Teen FictionTunggulah di situ! Aku yang akan datang ke tempatmu, karena aku tahu ... kamu mudah tersesat. - Tato H. Raharjo -