Chapter 11. Sebuah Tanda [A]

329 10 0
                                    

Rayya Pov

Aku tidak bisa menahan gelisah sejak pertama kali melihat Mas Bagas berdiri di lobi kantor. Menyapaku dengan seringaian lebar. Seolah ingin menerkamku saat itu juga. Hanya untuk formalitas aku membalas senyumnya. Ini masih sangat pagi untuk berhadapan dengannya. Di kantor pula. Apa yang Mas Bagas inginkan sebenarnya? Batinku terus bertanya. Meskipun sebenarnya aku sudah tahu jawabannya.

"Udah denger kabar nggak?" Celetukan pertanyaan seolah menggema di telingaku. Emir dan Freya terdengar ngobrol di sudut kubikel. Membuatku kepo ingin denger juga.

Emir mendekat. "Udah denger?"

Aku menggeleng, menampilkan ekspresi seolah bertanya 'ada apa sih?'. Yap selain ada kabar direktur kami mengundurkan diri, aku tidak dengar kabar apapun lagi. Grub anak-anak kantor juga membahas tentang pimpinan baru. Aku tidak terlalu memperhatikan juga, ada banyak pekerjaan yang aku pikirkan daripada hanya mengurusi soal isi grub kantor.

Emir memasang wajah tidak percaya. "Lo beneran nggak tahu kalau pimpinan digantikan Pak Bagas? Pak Bagas mantan lo!" Dia menunjukkan isi grub yang membuatku malah terkejut dibuatnya. Sejak kapan Mas Bagas tertarik dengan perusahaan audit eksternal? Aku jelas tidak percaya.

"Yang bener?"

"Jadi lo nggak tahu? Mulai besok kayaknya Pak Bagas udah mulai kerja deh." Emir menggeleng tidak percaya. Tidak ada kabar sedikitpun tentang Mas Bagas. "Beneran lepas lo sama Mas Bagas sejak pacaran sama Ian?"

Aku hanya menunjukkan ekspresi kesal. Sementara Emir kembali duduk di kubikel-nya, mengabaikan tatapan kesalku. Kegelisahanku rupanya sangat beralasan.

"Lo harus hati-hati deh, Ya." Freya tiba-tiba ikut bersuara. "Siapa tahu alasan om-om itu akuisi perusahaan cuma buat deketin lo?"

Aku menatap Freya. "Bener, Frey. Harus hati-hati gue."

"Tapi anak-anak bilang nggak bakal lama sih." Emir menengahi. "Cuma sampai batas yang ditentukan. Katanya lagi ngerekrut pimpinan baru buat kedepannya. Pak Bagas cuma menggantikan sementara karena nggak cocok sama yang lama."

Aku mengangguk paham. "Gue berharap prosesnya lebih cepet aja."

Freya tertawa mendengar pengakuanku. "Cie yang nggak mau ketemu pimpinan baru," godanya. Aku lagi tidak tertarik dengan godaan-godaan semacam itu. Kecuali tentang Mas Bagas, sepertinya aku akan baik-baik saja meskipun pimpinan digantikan.

"Namanya juga mantan Frey, ya jelas lah Rayya nggak bakal mau. Membuka luka lama tau." Emir ikut menggodaku.

"Apaan sih, nggak lucu tau," jawabku. Kembali memfokuskan diri bekerja, menghilangkan bayangan tentang Mas Bagas. Rasanya aku tidak mau peduli tentang-nya lagi. Aku juga malas membahas semua hal tentang Mas Bagas. Kalau dia mau bekerja di tempat yang sama ya silahkan, tapi jangan menggangguku. Hidupku sudah lebih damai ketika aku bersama Ian dan aku tidak ingin merusaknya lagi.

Jam makan siang, aku segera turun. Ian sudah menungguku di kantin, seperti biasa. Dia selalu datang lebih awal. Aku menyunggingkan senyum begitu melihatnya sudah memesan teh hangat untuk dua orang.

Ian membalas senyumanku. Menanyakan aku mau makan apa, kemudian beranjak berdiri untuk memesan sesuatu.

"Tinggal nunggu, sorry ya, aku nggak bisa lama. Jadi setelah makan langsung balik ke kantor."

Aku menatapnya kecewa, sebenarnya aku ingin menceritakan tentang Mas Bagas yang pagi-pagi terlihat di kantorku. "Ada meeting?"

"Yap, untuk perjalanan ke India."

Jujur saja aku sangat terkejut dibuatnya. "India? Jauh banget?"

"Klienku dari India," jawabnya. "Kamu tahu red fort nggak? Em, jadi dianya mau bangunan rumahnya di desain seperti itu. Ya nggak persis sama sih, tapi klienku ini mau aku harus riset dulu ke sana. Paling nggak meskipun nggak sama persis dapat gambarannya," tambahnya. "Kalau ditolak rugi, Ay. Mereka bersedia nyediain tiket ke sana. Dan nggak ada ruginya belajar arsitektur di negeri orang."

RedFlag [End - Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang