Chapter 16. Seolah Hanya Dia [B]

227 7 0
                                    

Rayya POV

Aku diam sebentar. Memperhatikan setiap gerak Ian ketika berdiri di depan cermin. Sambil menyisir rambutnya pelan, dia memperhatikanku. Balas tersenyum manis ketika aku dengan sengaja menjulurkan lidah. Kalau bukan karena kakiku sakit, aku sudah menendang bokongnya. Sok kegantengan banget.

"Mau jalan keluar nggak, Yang?"

"Kemana?" tanyaku penasaran.

"Jalan-jalan aja. Daripada bosen sendirian di kamar terus gini," jawab Ian. Dia mendekat ke ranjangku. Menoleh ke belakang takut-takut ada Bunda sepertinya. Entah bagaimana ceritanya Ian dapat izin semudah itu masuk ke kamarku. Ya sering dibolehin sih tapi sejak aku pacaran sama dia, dia udah jarang banget masuk kamar kayak gini. Kecuali jaman-jaman kita masih bocil dulu. Aku meraih segelas kopi di nakas, dibantu Ian sebelum dia menyingkap selimutku. "Jalan-jalan bentaran doang biar nggak tiduran terus. Otot kakinya dilatih biar nggak kecil sebelah. Kebanyakan tiduran nih. Nggak baik loh."

Ian kemudian menarikku dari ranjang. Memaksa untuk turun. Dengan kondisi seperti ini, aku butuh bantuan untuk berpegangan. Kakiku rasanya masih sakit meskipun sudah dipulangkan. Dengan langkah tertatih aku merangkul lengan Ian. Berusaha mengimbanginya untuk jalan. "Masih sakit, Yan," keluhku. Ian malah memperlebar jangkau langah kakinya. Membuatku malas mendebat yang akan memperburuk situasi yang ada.

Begitu berhasil turun dari lantai atas. Aku buru-buru meraih sofa. Menyandarkan punggungku di sana. Rasanya masih sakit dan cukup melelahkan. Apalagi di daerah punggung.

"Beneran masih sakit banget, Yan."

"Ya udah duduk dulu. Mau diganjel punggungnya?" tanya Ian sambil mengambil bantal sofa. Aku mengangguk.

"Pelan-pelan naruhnya."

"Iya, ini pelan kok."

Hening sebentar sebelum aku kembali membuka suara, "makasih."

Walaupun tidak menjawab. Aku melihat Ian tersenyum. Tidak mengangguk sebenernya, tapi itu udah cukup untuk menanggapi ucapan terima kasihku.

Ketulusan Ian adalah alasan kenapa aku masih bertahan di sisinya. Mungkin kalau bukan Ian, aku sudah pergi, memulai hidup baru sesuai apa yang aku inginkan.

"Aku yang harusnya minta maaf karena udah biarin kamu kayak gini," ucapnya. "Seharusnya aku tetap sama kamu, Ay. Yang harusnya minta maaf itu aku."

Aku mengangkat kepala, buru-buru menggelengkan kepala. "Kamu nggak salah apapun kok, Yan."

"Enggak, Ay," jawabnya tegas. Sedikit meremas lenganku. "Aku nggak bisa meyakinkan kamu kalau aku sesayang itu sama kamu. Gimanapun ini salahku. Aku nyesel udah membiarkan kamu melewati semuanya sendirian. Terus setuju-setuju aja waktu kamu minta putus."

"Ya udah nggak perlu dibahas lagi, sakit nih," rintihku sambil menekan bagian pinggul.

"Sini mana yang sakit, aku pijitin," godanya.

"Nggak lucu deh, Yan."

"Lucu lah."

Aku sedikit mendorong Ian menjauh. "Mau jalan-jalan kemana sih?"

Ian hanya menggelengkan kepala. Dia selalu tidak punya rencana. "Daripada di rumah terus."

"Tapi kamu beneran nyiksa aku loh, Yan."

"Emang harus dilatih kok kata dokternya."

Aku hanya bisa diam.

"Cuma duduk doang di mobil. Emangnya kamu nggak bosen ya di rumah terus?" bujuk Ian. Sepertinya Ian memang tidak mau dibantah lagi. "Biar kamu nggak ada trauma juga kalau naik mobil."

RedFlag [End - Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang