Chapter 1. Semua Tentang Rayya

4.6K 48 17
                                    

Sepanjang hari ini aku menghela napas panjang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepanjang hari ini aku menghela napas panjang. Entah untuk yang keberapa kalinya. Mungkin lebih dari 10 kali dalam 15 menit terakhir. Rasa sesak di dada begitu menekan. Beban yang aku tahan selama sebulan ini perlahan mulai mencekik. Membuatku merasakan rasa sakit yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.

Rasanya aku membutuhkan seseorang untuk membantu melepaskan semuanya. Setidaknya untuk berbagi apa yang tidak bisa aku ungkapkan sekarang. Memberiku sedikit masukan tentang apa yang harus-ku lakukan selanjutnya. Tetap berada di sini atau pergi menghindari dunia.

Sayang, kenyataannya sekarang, bahkan tidak ada seseorang berada di sampingku. Semuanya pergi. Membenciku atau mungkin tidak menganggapku lagi. Termasuk orang yang aku percayai seumur hidupku. Mereka membenci, menghinaku sesuka mereka. Bahkan hanya untuk menganggapku ada, rasanya memalukan buat mereka. Mengakui sebagai anak rasanya mungkin sangat berat untuk mereka.

Aku kembali menghela napas panjang. Menyandarkan tubuh di punggung kursi tunggu sambil mendongak ke atas. Menghindari air mata yang mulai menggenang di kelopak mataku. Berusaha untuk tidak menangis saat ini juga. Aku tidak mau semua make up yang aku gunakan menjadi berantakan karena acara menangis sialan ini.

Sepasang tangan kokoh tiba-tiba mendekapku dari belakang. Hembusan napasnya terasa. Sampai akhirnya aku tidak lagi bisa menahan diri untuk menangis. Aku membutuhkannya. Benar-benar membutuhkannya. Kehangatan yang dia berikan otomatis membuatku langsung bergerak untuk mengurai pelukan ke arahnya. Sial-nya bocah ini malah tertawa, sementara aku tak berhenti untuk mendekapnya sambil menyandarkan kepalaku di dada bidangnya.

"Udah nggak usah nangis lo."

Perkataan bukannya menenangkanku malah membuatku semakin menangis di dalam pelukannya. Aku merasakan Ian membalas pelukanku. Menepuk-nepuk punggungku penuh irama. Cukup lama sampai aku kembali menarik diri.

"Udah nangisnya?" tanya Ian.

Ian melepaskan kaca matanya. Ekspresi itu terlalu tenang untuk menenangkan seseorang yang lagi menangis. Membuatku langsung cemberut. Panik kek, ternyata tidak, dia memilih tersenyum lebar. Seolah apa yang aku lakukan ini bukan sebuah masalah besar untuknya. Padahal ini ceritanya aku mau kabur loh dari rumah. Dia malah tenang-tenangan.

"Makan yuk?" Ian menarik tanganku meninggalkan ruang tunggu.

Aku akhirnya mengikuti langkah Ian sambil menarik koper. Setidaknya kalau memang tidak panik aku mau kabur, dia harusnya bantu bawa koperku kek. Mau bagaimana lagi, orang yang aku hadapi adalah Ian. Cowok super nyebelin. Aku seharusnya tidak mengeluh. Hanya dia yang mau menghentikanku untuk pergi. Seharusnya aku bersyukur. Dia masih berada di pihakku.

"Sapa yang kasih tau lo kalau gue di sini?" tanyaku, tergopoh-gopoh mengikuti langkah Ian.

Melihatku kerepotan menyamakan langkah sekaligus merampas koper dari tanganku, akhirnya Ian sedikit memelankan langkahnya. "Udah ketebak."

RedFlag [End - Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang