Chapter 18. Rasa Sakit [B]

290 6 1
                                    

Rayya POV

Aku mengamati laporan keuangan yang baru keluar dari meja atasan. Membandingkannya dengan laporan keuangan setahun yang lalu. Meneliti satu persatu dan melihat masalah dari laporan yang baru saja aku revisi, membandingkan-nya karena mendadak ada pembengkakan yang membuat keuangan perusahaan tidak stabil. Itu sebabnya aku segera memeriksanya. Aku merasa ada yang salah dengan laporan yang sudah ada. Setelah meeting dadakan tadi aku tak berhenti memelototi meskipun Kia bilang masih ada waktu besok sebelum Tante Kania memeriksanya sendiri.

Ketukan dari pembatas kubikelku membuatku mengalihkan pandangan dari laptop. Cukup terkejut melihat Ian di sana.

"Segitu konsentrasinya sampai nggak sadar aku datang?" tanya Ian dengan muka jutek. "Udah waktunya pulang."

Aku tersenyum masam, mengetuk layar ponsel untuk melihat pukul berapa. "Em, boleh nggak temenin bentar aja. Ini nanggung banget kalau nggak diselesain sekarang. Lagian ini masih jam setengah lima kok."

"Lembur lagi?" tanya Ian. Wajahnya mendadak berubah menjadi masam. Namun tetap tidak aku hiraukan. Memilih melototi monitor laptop. "Aku kan udah bilang...."

Sebelum Ian menyelesaikan perkataannya, aku lebih dulu menyambar, "gimana kalau kamu order makan? Sekalian biar nggak nunggu pas balik kan?"

Aku mendengar Ian mendengus kasar. Mendadak langsung merogoh ponsel di celananya. "Mau apa?" Bersyukur Ian menurutiku. "Sampai makanannya datang, kamu harus sudah berhenti kerja. Nggak ada uang lemburnya kenapa musti lembur?" omel Ian aku balas senyum biar dia tidak semakin marah.

"Em gimana kalau nasi angkringan?" tanyaku sambil menggenggam pergelangan tangan Ian.

"Di tempatnya Om Satria?"

Aku mengangguk. "Lagi pengen banget. Itu aja ya?" Ini hanya alasan agar makanan yang dipesan datang lebih lama. Tempatnya agak lumayan jauh dari kantor. "Tapi kalau kamu mau yang lain nggak papa kok."

"Kita langsung ke sana gimana?" tawar Ian. "Kerjaannya nggak bisa dilanjutin besok?"

Aku akhirnya menyerah. Memutuskan untuk mematikan laptop daripada berdebat. Ian sudah terlihat sangat kesal. Aku tidak mungkin menambahi kekesalannya dengan ngeyel tidak mau pulang.

Mataku menangkap ponsel Ian yang terus bergetar di atas meja. Sementara pemiliknya tidak bergeming ataupun berusaha mempedulikannya. Membuatku menyipitkan mata. Jelas ada yang salah dengan Ian dan itu cukup mengganggunya. "Kenapa nggak diangkat sih? Dari kemarin kamu dapat telpon nggak pernah di angkat," gumamku mencoba meraih ponsel Ian. "Bukan dari cewek kan?" sipitku curiga. Jelas lah! Jangan-jangan kalau tidak bersamaku, Ian menerima telpon itu.

"Udah nggak usah peduli," jawab Ian malah menyambar ponsel lalu menaruhnya ke dalam saku.

Aku jelas memasang wajah keheranan. Ian menyembunyikan sesuatu dan itu cukup jelas. "Dari siapa aku bilang?" tanyaku setengah membentak sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Aku mau lihat! Mana."

"Bukan siapa-siapa. Orang nggak jelas. Kita pulang aja yuk."

"Kamu lagi berusaha nyembunyiin apa sih?"

"Nggak ada."

Ian menarikku keluar dari kantor. Membiarkan kepalaku terus bertanya dan menduga apa yang telah disembunyikannya. Bahkan dia tidak berusaha menjelaskan sesuatu. Kalau sudah begini aku memutuskan untuk diam saja. Bertengkar dengan Ian bukan sesuatu yang aku harapkan. Nanti saja aku tanya lagi. Aku tidak mau di antara kami menjadi beban satu sama lain. Sekecil apapun masalah harus diselesaikan. Kalau dia memang sudah bosan dengan hubungan ini akan lebih baik kalau kami saling memutuskan, suka atau tidak suka, salah satu di antara kami memang harus mengikhlaskan. Andai itu benar terjadi.

RedFlag [End - Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang