Chapter 15. Masih Sama [A]

206 9 1
                                    

Rayya POV

Tidak mudah menghentikan Ian. Dia masih sama dengan tekatnya. Persiapan pertunangan sekaligus pernikahan tidak ada yang digagalkan. Semuanya akan dilakukan sesuai rencana. Tante Kania juga terlihat lebih antusias untuk bolak balik mengajakku untuk mencari cincin yang pas. Yang sengaja aku tolak. Aku tidak mau terlibat ini lebih jauh lagi.

"Ada Ian di depan."

Sudut mataku menangkap kehadiran Bunda mendekat ke arahku. Sempat menepuk pundakku pelan sebelum pergi menjauh. Sementara aku memilih mengabaikannya. Dan tetap mengamati laptop di depanku. Aku tidak tertarik bertemu dengan Ian. Seharusnya memang seperti itu untuk menghindari sesuatu yang lebih buruk.

"Ditunggu Ian tuh, katanya dari kemarin kamu nggak enak badan. Emang iya?"

"Hm."

Aku hanya menjawab seadanya. Fokusku berusaha hanya aku bagikan untuk angka-angka di kolom exel. Aku tetap tidak menoleh ketika ada langkah lain terdengar. Seperti dari suara sepatu pantofel cowok. Itu mungkin Ian. Mungkin hanya menyisakan kami berdua. Aku tahu Bunda mencoba memberikan ruang untuk kami berbicara. Ian mungkin sudah menjelaskan ke Bunda kalau kami sempat bertengkar semalam. Entahlah, yang ada rasanya seluruh tubuhku membeku setelahnya. Aku tetap bergeming. Merasakan aroma musk memenuhi indra penciumanku. Sempat menoleh sebelum Ian ternyata sudah menarik salah satu kursi bar stool duduk di sebelahku. Dia tidak bersuara. Hanya terdengar suara kantung plastik. Dan yap, ada ketakutan ketika melihat wajahnya.

Tetap fokus menyelesaikan pekerjaanku ternyata tidak membuahkan hasil. Kepalaku terus berkelana dan mencari tahu apa yang telah dilakukan Ian. Tentu saja dia masih dalam mode heningnya, kecuali terdengar mencari perhatian dengan membunyikan berbagai macam benda di jangkauannya. Kadang sibuk membuka bungkusan makanan, sibuk mengotak atik sendok, kadang juga tak berhenti mencari piring yang cocok untuknya. Semua itu seolah memperburuk emosi yang aku miliki sekarang.

Berada di dalam kecanggungan ini. Sama sekali tidak membuat Ian berpikir untuk berhenti. Dia mengulurkan satu bungkus ketoprak untukku. Samar-samar aku dengar dia menghembuskan napas dalam-dalam, lalu berdecak sambil menutup laptopku paksa. Aku sempat menahan tangannya untuk melakukan. Hanya saja, Ian lebih cepat beberapa detik dariku.

"Ketoprak kesukaan kamu, Ay."

"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku, tanpa menoleh ke arahnya.

"Kata Bunda kamu belum makan."

"Udah."

Hening. "Bunda bilang belom," jawabnya kemudian.

Aku tetap pada tekatku untuk tidak menatap Ian. Juga tidak menimpali ucapannya. Aku rasakan Ian bergerak gelisah.

Kupikir Ian akan pergi setelah treatment silent yang aku berikan. Namun sesuatu seolah mengobrak abrik dadaku, untuk sekali lagi. Ian malah mendekat, memeluk erat dari samping. Membuatku hampir terhuyung jatuh andai saja dia tidak menahanku.

"Sayang, aku beneran minta maaf kalau ada salah," ucapnya. "Aku bakal ngelakuin apapun yang kamu mau. Kalau kamu nggak siap, nggak papa. Kita undur ya? Aku udah bilang kok sama Mama. Mama setuju kita undur."

Aku menundukkan kepala, kemudian menggeleng. "Aku tetap nggak bisa, Yan. Sampai kapanpun."

"Aku ada salah apa?" tanya Ian. Nada suaranya terdengar lebih rendah seperti suara gumaman. "Aku sayang banget sama kamu, Ay. Apa yang bisa aku buktikan biar kamu percaya?"

"Aku bilang udah, Yan. Udah. Kamu nggak denger? Ha? Kamu bodoh tau nggak milih cewek kayak aku!!"

"Iya aku bodoh. Aku tahu aku bodoh."

RedFlag [End - Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang