E K S T R A P A R T 0 1

517 8 0
                                    

Gue melirik Rayya yang saat itu mengganti popok bayi. Putra kami Aidan boker untuk yang kelima kalinya dalam sehari. Sementara Aida, putri kami, nggak berhenti nangis sejak tadi pagi. Rayya rupanya stress sendiri, ditambah dengan luka bekas sesar yang kayaknya belum sembuh sepenuhnya. Gue jadi kasian banget sama Rayya. Lelah di kelopak matanya nggak lagi bisa disembunyikan meskipun dia sudah berusaha menutupinya menggunakan make up. Membuatku sedikit khawatir. Itu sebabnya dari tadi gue memilih diam doang. Kalau banyak ngomong, takutnya Rayya malah makin ngereog.

"Kamu kok malah diem aja sih!" protes Rayya. Sedikit membuat gue mendongak yang semula mencoba menenangkan Aida beralih menatap Rayya.

"Mau bantuan apa?"

"Nggak usah. Bisa sendiri!" jawabnya dengan nada jengkel. Setengah menyindir gue yang dia kira diem aja. Padahal enggak, dari tadi gue mencoba membuat Aida tenang.

"Ya udah kalo gitu."

Rayya melototi gue, membuang pempers asal di lantai kamar. "Kamu tuh ngerti nggak sih? Aku tuh capek banget seharian nggak berhenti ngurus anak-anak." Sambil menghentakkan kaki kesal, Rayya membawa Aidan dalam gendongannya. Meninggalkan gue yang masih berdua sama Aida. Lalu dia terlihat mondar mandir gendong Aidan di ruang tengah dengan wajah jutek.

Gue menghela napas. Sebelum membawa Aida dalam gendongan, gue lebih dulu membereskan sisa pempers yang Rayya buang sebelum bau-nya jadi seruangan.

Untuk menghindari pertengkaran, gue ajak Aida jalan-jalan ke taman. Bayi gue masih kecil banget, belum setahun, responnya cuman bisa nangis sama senyum. Tapi pagi ini sejak mereka bangun, keduanya kelihatan nggak heppy. Nyokap nyaranin gue bawa anak-anak ke dokter. Kata Dokter nggak ada masalah sama Aida, sedangkan Aidan entah gimana bisa dia mengalami diare. Yang sakit Aidan, yang nangis terus Aida, itu kenapa Rayya kelihatan bete banget dari tadi. Gue tahu dia capek ngurus dua bayi sekaligus. Awalnya lucu, tapi lama-lama gue jadi merasa nggak enak sendiri sama dia. Dia udah ngelakuin banyak hal, sementara gue, ngurus satu bayi aja udah kelabakan.

Udah agak lama Aida mulai tenang. Dia nggak nangis lagi, gue ajak masuk ke dalam. Di ruang tamu gue lihat Rayya tertidur dengan Aidan yang masih dalam gendongannya. Dari awal Rayya nggak pernah ngeluh sedikitpun. Termasuk ikhlas ngejalani semuanya, nggak ada yang namanya baby blues seperti yang orang bilang di awal melahirkan. Kalau lagi capek aja dia ngedumel ama gue. Gue rasa itu wajar, orang nggak capek aja kerjaannya ngomel-ngomel.

Setelah menaruh Aida ke ranjang bayi, gue menggantikan Rayya menggendong Aidan. Dia sempat terbangun ketika merasakan Aidan sudah berpindah ke gendongan gue. Dengan raut cemberut memelototi gue seolah musuhnya. Dari kemarin Aidan nggak bisa lepas dari gendongan.

"Ck ck ck ck... Boy," ujar gue menenangkan Aidan yang bergerak nggak nyaman di gendongan. Mau nangis, tapi buru-buru gue kusuk dadanya. Nanti kalau ni anak nangis, otomatis Aida juga nangis. Malah tambah pusing nanti. "Sabar yaaa, sakitnya cuma sebentaran doang kok. Besok juga sembuh, Boy."

Rayya menyandarkan punggungnya di sofa, mengangkat kedua kakinya buat selonjoran. Lega begitu melihat Aidan tidak jadi menangis.

"Kalau mau tidur, tidur aja, Yang. Nggak papa kok Aidan biar sama aku aja. Kamu kelihatan capek gitu."

Rayya menggeleng.

Gue akhirnya diam. Kalau gue paksa lagi, Rayya bakalan ngamuk. "Aku bawa Aidan keluar ya, panggil aja kalau mau sesuatu."

Rayya menghela napas panjang. "Kamu bisa diem nggak sih? Bawel banget," gumamnya. Kan! Gue lagi yang disalahin. "Aidan ga perlu dibawa keluar. Di rumah aja. Ngapain keluar. Nanti malah kenapa-napa."

Kalau sudah gini akhirnya gue memilih nurut. Nggak ada gunanya baku hantam. "Yuk Boy kita ke belakang. Mama kamu lagi bete banget. Nggak bisa diganggu," bisik gue ke bayi kami.

RedFlag [End - Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang