Chapter 13. Senyuman [B]

198 7 0
                                    

Rayya POV

Hubunganku dengan Ian kian hari kian membaik. Dia membagikan semua pengalamannya sepulang kerja. Sementara aku, mulai membiasakan diri dengan kehidupan yang hampir mirip dengan seorang ibu rumah tangga biasa. Menyambut Ian sepulang kerja sekaligus memasak, meskipun tidak seenak punya Ian, paling tidak bisa mengobati rasa laparnya. Dan yang paling berbeda, Ian sudah jarang pulang ke tempatnya sendiri. "Aku coba buatin kamu oseng-oseng kangkung," kataku.

"Emang seenak buatanku?" tanya Ian setengah menyipitkan mata. Aku tahu Ian hanya becanda. "Coba-coba sini, mau nyobain." Ian langsung mencomot oseng kangkung buatanku. Dari raut muka-nya, masakanku tidak terlihat buruk.

"Enak kan?"

"Nambah garem dikit lebih enak lagi." Ian bantu menyibukkan diri di dapur. Menggantikan posisiku. Aku lihat bukan hanya garam yang ditambahkannya. Membuatku sedikit kecewa. Aku segagal itu memuaskan perut Ian.

Aku memperhatikan setiap gerak Ian menyiapkan makanan di piring. Menambahkan lauk yang dia suka dari kulkas. Aku memang hanya membuat satu menu, oseng kangkung dan juga nasi yang terlihat lemas. Kata Ian airnya sebanyak satu ruang jari telunjuk, aku sudah melakukannya, tapi masih gagal saja.

"Yan, nasinya kebanyakan aer," kataku ragu-ragu. Ian langsung melihat rice cooker. Mengeluarkan nasinya lalu direndamkan ke dalam air dingin. Nggak ada hasilnya, tetapi membuatku hampir menangis. Itu artinya nasiku benar-benar hancur. Tidak tertolong sama sekali. "Nggak bisa dimakan ya?" tanyaku. Awalnya Ian hanya diam saja, kemudian dia tersenyum. "Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Masih bisa dimakan kok, nggak papa ini," jawab Ian.

Aku menatap nasi yang direndam air es di tangan Ian. Lalu dipindahkan ke baskom nasi. Sama sekali tidak ada kecanggungan. Mengalir begitu saja. Dia memang ahlinya mengubah kekacauan menjadi lebih simpel.

"Udah," kata Ian. "Kalau dimakan nggak bakal kayak bubur lagi."

"Udah? Emang iya?" tanyaku. "Coba lihat dong." Aku beneran penasaran sekarang.

"Bisa kok dimakan," kata Ian meyakinkan. Membujukku agar tidak terlihat sedih. Tetap saja, nasi-nya terlihat jauh lebih berantakan.

"Kelihatan hancur banget." Aku meratapinya. Enggan melihat. "Kita beli makanan di luar aja deh, Yan kalau gitu. Tadi aku beneran udah kasih air seruas loh. Nggak lebih."

"Iya percaya kok, nggak papa, berasnya yang mudah mateng," kata Ian. Dia masih berusaha memperbaiki kekacauan yang aku perbuat. "Mau order makan aja? Mau makan apa?" tawar Ian. "Geprek lagi?"

"Aku ngikutin kamu aja, kalau mau geprek ya geprek. Kalau yang lain juga nggak papa, biar nunggu abang-abangnya nggak lama-lama banget."

"Ya udah kalau gitu, geprek aja ya?"

Aku mengangguk setuju. "Aku ganti baju dulu."

Aku mengikuti Ian. Masuk ke dalam kamar. Memperhatikannya menarik kaos polos warna hitam. Sementara celana slim fit hitam-nya masih dipakai. Ian bilang sudah mandi tadi di kantor. Udah ganti celana dalam juga. Ian memang punya kebiasaan bawa pakaian ganti biar bisa mandi di kantor.

"Tadi kemana aja?" tanya Ian menaikkan kedua alisnya cepat.

"Nggak kemana-mana, ngerjain freelance."

"Nggak bosen di rumah?" tanya Ian.

"Ya bosen tapi ya gimana."

Selanjutnya, kami memilih untuk ke ruang keluarga. Menonton tayangan youtube di televisi. Aku sendiri mulai menyandarkan kepala di bahu Ian. Kadang juga dengan sengaja ikut membaca room chat anak-anak kantor di ponsel Ian. Dia sama sekali tidak merahasiakan apapun. Pernah sekali aku melihat chat Ian dengan cewek kantor yang bikin aku gedek, tapi kelamaan biasa, karena Ian lebih dulu menjelaskan kalau Indah sudah punya pacar.

RedFlag [End - Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang