Chapter 13. Meninggalkan Kenangan Masa Lalu [A]

261 7 1
                                    

Rayya POV

Hari dimana aku memutuskan untuk mengundurkan diri, di saat yang sama aku memutuskan untuk menghindari semua kontak yang berhubungan dengan Mas Bagas. Aku benar-benar ingin lepas darinya. Ini sudah sekitar dua hari aku tidak lagi berhubungan dengannya. Hanya ada beberapa teror kecil yang belum sepenuhnya terjadi.

Aku masih belum menceritakan semua tentang Mas Bagas. Berhubung Ian tidak pernah mengeluhkan sesuatu jadi aku hanya diam saja. Aku juga tidak mau merusak harinya yang menyenangkan semisal aku menceritakan tentang Mas Bagas.

Minggu pagi, aku berencana untuk belajar memasak bersama Ian. Aku tidak memiliki pekerjaan dan pendapatan. Tabunganku mungkin hanya akan bertahan selama beberapa hari. Kalau aku tidak melakukan hal produktif, cowok mana yang bakal mau denganku? Jadi aku memutuskan untuk belajar memasak saja. Semalam Ian membawa buku masak dari rumahnya. Dia bilang Tante Kania sering menggunakan buku itu untuk mengajarinya memasak. Aku percaya saja, barang kali masakanku juga akan seenak Ian.

Karena Ian masih di gym. Aku memutuskan untuk mandi. Ganti pakaian yang lebih nyaman lalu menghubungi Ian. Ini sudah dua jam lebih di tempat gym. Membuat aku sedikit khawatir. Biasanya paling lama hanya satu setengah jam. Itupun setengah jam-nya dia gunakan untuk makan bubur di bawah.

Kalau dia sudah bilang mau makan di rumah saja, sudah jelas Ian tidak akan turun untuk mencari sarapan. Dan seharusnya sudah balik ke apartemen.

Tidak tahan lagi menunggu Ian sekaligus takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan. Aku akhirnya mengambil ponsel. Mengecek apa Ian mengirimiku pesan atau tidak. Hasilnya nihil. Hanya ada satu panggilan tidak terjawab, sejam yang lalu. Yang entah kemana aku tidak mengingat ada satu panggilan masuk.

Gerakan tanganku mengambil cardingan terhenti ketika tiba-tiba seseorang membuka pintu akses apartemen. Tak lama penampakan seseorang yang sedang aku tunggu akhirnya datang juga. Dia menatapku sambil tersenyum lebar. Membawa satu plastik gorengan.

"Mau gorengan nggak?"

"Nggak," jawabku kesal. Tapi aku bersyukur Ian segera pulang. Aku benar-benar mengkhawatirkannya. "Darimana aja ditungguin lama nggak muncul-muncul?"

"Belum-belum kok mau marah aja?"

Aku menatapnya kesal. "Ya kamu, kemana aja?!"

"Habis cari roti goreng ini."

Aku menatap kantung kresek di tangannya. Memastikan apa yang dikatakan Ian benar adanya. "Kenapa nggak bilang-bilang dulu?" tanyaku kesal. "Aku udah nunggu loh dari tadi. Kamu pikir aku nggak khawatir nunggu kamu. Awalnya nelpon sejam lalu terus nggak ada kabar." Aku buru-buru mengambil kantung kresek di tangannya. "Aku khawatir banget, Yan. Banget... Banget." Tidak bisa menahan diri lagi aku memeluk Ian dengan cukup erat. Dia mungkin heran kenapa aku seperti ini. Tapi biarlah seperti ini dulu. Yang aku inginkan hanya memeluknya seperti ini. "Lain kali kabarin, biar aku nggak nyari-nyari kamu. Kamu dihubungin tadi nggak bisa loh. Hape kamu kemana?"

Gantian Ian yang tertawa. Merogoh celananya. Menunjukkan ponsel yang mati. "Batre-nya habis. Aku nggak sempet ngecas tadi. Bagus dong kalau kamu khawatir, ternyata aku nggak buruk-buruk amat. Kalau kamu khawatir gini artinya kamu takut aku kenapa-napa kan? Artinya sayang banget itu."

Kepedean Ian membuatku berdecak, mencubit perutnya kencang. Membuatnya mengeluh kesakitan. Kemudian terkekeh. "Aku nggak suka ya hilang kontak kayak gitu," gerutuku. "Udah sana cas hape. Biar nggak mati lagi." Tanpa banyak bicara lagi aku mendorongnya.

Ian menuruti permintaanku, membiarkan tubuhnya mengikuti gerakanku mendorongnya. "Jadi nggak belajar masaknya?" tanya Ian sambil menghubungkan charger ke ponselnya.

RedFlag [End - Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang