"Hargailah dia yang berjuang untukmu, selagi ada waktu. Sebelum dia benar-benar pergi dari hidupmu."
~Anniisna~
✨
✨
✨
✨Umar duduk di teras asrama, memandangi langit malam yang di hiasi bintang. Tiba-tiba rasa rindu terhadap orang tuanya datang di hatinya.
Waktu berjalan begitu cepat, sudah setengah tahun ia jauh dari keluarga untuk menempuh jalan menuju ridho-Nya.
Di pertengahan renungannya muncul wajah seseorang di pikirannya, yang tidak lain adalah Salwa. Sejauh ini ia belum menemukan cara untuk menemukan cara untuk mengungkapkan perasaannya pada Salwa. Padahal, setelah wisuda Salwa sudah tidak menetap di pesantren ini.
Suara tangisan membuyarkan lamunan Umar. Ia beranjak mencari asal suara tangisan itu dengan menyusuri kamar asrama satu persatu.
Di depan kamar asrama bagian timur, Umar menemukan sumber suara, ia mendapati seorang anak kecil yang memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan wajah pada tangannya. Umar menghampiri anak kecil itu perlahan-lahan.
"Dek," panggil Umar pelan.
Anak itu menoleh pelan ke arah Umar. Umar sedikit terkejut melihat mata anak itu merah dan sembab, mungkin karena menangis. "Dek, kamu kenapa?" tanya Umar sambil duduk di depan anak itu.
"Kakak siapa?" tanya anak itu sedikit ketakutan.
"Oh, kenalin nama kakak Umar. Nama kamu siapa?" Umar bertanya kembali pada anak itu.
"Namaku Zaid." Jawaban anak itu membuat anak itu sedikit tersenyum. "Kenapa kakak tersenyum?"
"Eh, nggak papa kok," sahut Umar. Padahal ia tersenyum, karena teringat nama Zaid yang selalu menjadi artis di ilmu nahwu. "Kamu kenapa kok nangis?"
"Aku kangen ayah sama bunda," jawab Zaid dengan sedikit terisak.
"Kakak juga rindu kok pada umi dan abah."
"Tapi mereka sudah meninggal karena kecelakaan mobil, Kak," ucap Zaid membuat Umar terdiam, dan menyesali perkataannya tadi.
"Ma-maaf Zaid kakak nggak tahu," ujar Umar.
"Nggak apa-apa, Kak."
"Yang sabar ya, Dek. Kalau kamu rindu mereka, doakan mereka, agar mereka tenang di alam sana. Dengan mendoakan mereka insya allah rasa rindumu akan terobati, dan mereka akan bahagia di sana."
"Iya kah, Kak." Umar hanya mengangguk dan tersenyum.
Umar sangat prihatin dengan keadaan Zaid, di umur segitu sudah kehilangan kedua orang tuanya, dan tidak bisa merasakan kasih sayang kedua orang tua. Rasa rindunya pada Hasyim dan Fidzah tidak sebanding dengan rasa rindu Zaid pada orang tuanya.
"Dek kamu boleh anggap aku kakak kamu kok."
"Serius?" Zaid memandang Umar dengan berbinar. Pandangan itu membuat hati Umar teriris yang membuat dirinya tidak tega.
"Iya, serius."
"Aku mau, Kak!"
"Baiklah, kita saudara."
"Terimakasih, Kak."
Senyuman sederhana Zaid sudah membuat dirinya bahagia. "Jam segini Kakak kok belum tidur?""Sama seperti kamu, kakak rindu pada abah dan umi."
"Kakak beruntung ya, masih memiliki orang tua. Tidak seperti aku," ucap Zaid memelas.
"Kamu nggak boleh putus asa seperti itu. Pasti Allah lebih sayang kepada orang tuamu, dan memiliki rencana lain yang lebih baik," tutur Umar sambil mengelus punggung Zaid. "Yaudah kamu tidur sana, udah malam," suruh Umar.
KAMU SEDANG MEMBACA
SYAUQY || HIATUS ✓
RomanceApa jadinya jika seorang Gus menjadi pembalap handal dengan segudang prestasi. Tapi abahnya tidak mungkin membiarkan putranya dengan bebas berkeliaran di jalan. Dia adalah Umar. Dengan penuh paksaan abahnya memasukkan Gus muda ini ke pesantren. Dici...