prolog

5.6K 102 0
                                    

Vici memandang layar ponselnya yang terus bergetar, memperlihatkan nama yang sudah tidak asing lagi. Kali ini, panggilan itu masuk untuk kedelapan kalinya. Bibirnya melengkung membentuk senyum kecil, penuh kepuasan. Kaisar Wirafa, pria yang berhasil merebut hatinya sekaligus menjadi target keisengan kecilnya, tampaknya benar-benar terpancing. Saat panggilan kesembilan masuk, Vici akhirnya menjawab dengan gerakan lambat, sengaja menunggu sejenak sebelum menekan tombol hijau. Senyum di wajahnya semakin melebar.

"Mengerjaiku?" suara bariton di seberang terdengar jelas, menggambarkan campuran antara kelelahan dan sedikit rasa kesal.

Vici hanya terkekeh pelan, nada tawanya ringan namun penuh arti. "Tentu saja tidak," ucapnya, suara manis itu memancarkan kebohongan yang disengaja. Matanya berkilat jahil, menikmati reaksi dari pria yang ia tahu terlalu mudah dibaca.

Sambil berbicara, jemarinya memainkan pita kecil di bahunya. Gaun hitam elegan yang ia kenakan membalut tubuhnya dengan sempurna, menjuntai hingga ke pergelangan kaki. Kain tanpa lengan itu hanya bergantung pada dua pita kecil di pundak, memberikan sentuhan feminin yang tak berlebihan. Rambutnya, yang ditata rapi, terangkat dengan jepit, menampakkan leher jenjang yang seolah menjadi pusat perhatian.

Ia berdiri di dekat jendela besar agensinya, pandangannya tertuju ke keramaian jalan raya di bawah. Lampu-lampu kendaraan bergerak seperti aliran sungai cahaya, sibuk namun teratur. Di kaki jenjangnya, stiletto hitam bersol merah bersiap melangkah kapan saja, menegaskan gaya hidup glamor yang sudah mendarah daging. Si anak sulung keluarga askama memang begitu. Glamor, indah dan cerdas. Siapa yang tidak akan tertarik dengan si sulung askama ini. Perempuan totalitas yang selalu mengedepankan harga diri di atas segalanya.

kecantikan keanggunan dan singgah sana seorang putri telah tersemat sejak ia lahir di dunia ini. Apa pun keinginannya pasti akan terpenuhi. Si anak sulung kaya raya dari askama. Vici.

"Sayang," suara Kaisar kembali terdengar, kali ini lebih lembut, dengan nada yang menyerupai permohonan.

Vici melangkah terdengar ketukan. Berhenti lalu bersandar ke dinding, salah satu tangannya memegang ponsel, sementara tangan lainnya menyentuh rambutnya yang rapi. Ia memiringkan kepala, membiarkan senyum menggoda menghiasi wajahnya.

"Ada apa lagi? Kau merinduiku lagi?" tanyanya dengan nada menggoda. Kebiasaanya memang menggoda kekasihnya. Kaisar-pria yang sudah lama menempati hatinya. Pria yang membuat vici selalu jatuh cinta.

"Tentu saja. Hari-hariku terlalu padat, membosankan aku membutuhkan kesegaran. tapi kekasihku memilih mengabaikanku, ingin bermain api atau bagimana sayang?" suara Kaisar mengandung teguran halus yang diselimuti kasih sayang.

"Aku tidak mengabaikanmu, sayang. Mana mungkin aku melupakan kekasihku?" balas Vici dengan nada manis. Namun, senyuman di wajahnya mengungkapkan kebohongan. Padahal tadi ia jelas-jelas sengaja.

"Berbohong lagi, Vici?" Kaisar tertawa pelan, mencoba terdengar tenang meski ia tahu apa yang sedang terjadi.

"Kau meragukanku?" Vici balas bertanya, dengan nada penuh kepercayaan diri, nyaris menantang.

"Mana mungkin aku meragukan kekasihku," ujar Kaisar, meniru kalimat Vici dengan nada yang sama persis, penuh godaan.

"Ayolah, sekarang berbalik badan," tambahnya, nadanya berubah menjadi lembut namun mendesak. Vici mengangkat alis, merasa penasaran sekaligus bingung dengan permintaan itu. Tapi entah mengapa, ia menurut begitu saja. Perlahan, ia memutar tubuhnya, membelakangi jendela besar yang sedari tadi menjadi objek perhatiannya.

Ia baru saja menyelesaikan rapat mingguan dengan manajer dan direktur di Agnesi serta beberapa artis dan model lainnya, sebuah agensi model ternama yang sedang menanjak pamornya. AGENSI F& N. Pertemuan itu membahas proyek-proyek yang akan datang, menentukan mana yang layak diterima dan mana yang harus ditolak. Standar kualitas di bawah kepemimpinan sang direktur, Jestatono, memang terkenal tinggi-bahkan terlalu tinggi, menurut Vici.

"Pria matang," gumamnya sering, menggambarkan direktur yang sudah memasuki usia 53 tahun. Lebih tepatnya kematangan-overcooked nyaris berlebihan dalam segala hal.

Pikiran itu menghilang ketika ia mendengar langkah mendekat. Kaisar muncul entah dari mana, seperti biasa membawa auranya yang mendominasi. Tanpa peringatan, pria itu melingkarkan lengannya di pinggang Vici, menariknya dalam pelukan hangat yang terlalu erat. Sebelum ia sempat memprotes, sebuah kecupan mendarat di pipi, lalu di sisi rahangnya, dan dengan cepat, nyaris di sudut bibirnya.

"Kaisar!" seru Vici, setengah kaget setengah geli, tapi tak ada ketegasan dalam nada suaranya. Ia tahu, pria ini memang seperti itu-penuh gairah.

"Lepaskan aku," ujar Vici sambil menepuk pelan pundaknya, mencoba menjaga nada suaranya tetap ringan. Namun kaisar tidak kunjung melepasnya, lalu Vici biarkan. Hingga dirasa sudah cukup lalu melonggarkan pelukan Kaisar. "Sudah puas dengan chagermu?" ucap Vici lalu merapikan sedikit jas kaisar yang sedikit miring.

"Charger?" Kaisar membalas, memperbaiki istilah itu dengan nada geli. Pelukannya sudah ia longgarkan, tetapi tangannya masih tertinggal di pinggang Vici. "Ya, sudah penuh. Tapi aku bisa mengisi lagi kalau kau mau." Vici menggelengkan kepala, senyumnya tak bisa disembunyikan.

"Kau ini...kenapa tiba-tiba muncul? Bukannya sibuk?" tanyanya, mencoba terdengar biasa saja, meskipun kehadiran Kaisar selalu membuatnya kesenangan.

"Bagaimana mungkin aku sibuk, kalau di sini ada kekasihku yang manis sedang mengabaikanku?" jawab Kaisar santa. Jawaban itu membuat Vici tertawa pelan. Manis sekali tawanya. Lalu kedua tangan nya menangkup wajah Kaisar.

"memangnya mau apa tuan?" tanya vici. Mencari apa maunya pria di hadapannya ini, meskipun ia sudah tau apa maunya.

" lagipun Aku bukan mengabaikanmu, hanya usil sedikit," ucap Vici menekan kata 'sedikit' sambil menatap Kaisar, mencoba memberikan pembelaan. Jemarinya memainkan ujung dasi Kaisar.

"aku juga kan datang kesini untuk bermain sedikit denganmu" balas kaisar sambil mengangkat alis, tatapannya pun usil namun tetap penuh kelembutan.

"Oh itu alasan kamu tiba-tiba menyusulku ke agensi? Tolong ya, aku punya kerjaan banyak," lanjut Vici sambil melipat tangan di depan dada, si tuan putri memperingati. "Dan satu lagi, Kaisar, tolong jangan semua pekerjaan kamu lempar ke Tunggala. Dia itu tangan kananmu, bukan gantimu!"

Pria itu tersenyum kecil, sedikit menunduk sedikit untuk menyamai tinggi Vici. "Minta waktumu sejam, boleh?" tanyanya dengan nada memohon, matanya menatap Vici seperti anak kecil yang sedang meminta permen.

"Sejam? Buat apa?" Vici mengerutkan kening. "Charger-nya butuh waktu sejam untuk penuh," balas Kaisar santai, mengangkat bahu seolah-olah itu alasan yang paling masuk akal di dunia. Vici tertawa. Oh chager. Ia yakin jika menyetujui pasti Tunggala akan kelimpungan lagi mengurus segala hal yang kaisar tinggalkan. Namun tetap saja ia menelpon Fara asistennya.

"Fara, kita ada jadwal apa setelah ini?" tanyanya, mengalihkan fokus untuk sejenak.

Fara langsung menyahut dengan nada formal membacakan jadwal Vici hari itu. "Setelah ini kita menuju Slinteto untuk mencari gaun, karena malamnya kamu akan hadir di acara Hari-Harian. Sebelum itu, ada rekaman video untuk penayangan album baru Theo. Lalu-"

"Waktu Vici sejam," potong Kaisar dengan nada tak terbantahkan, seperti memberikan perintah kepada bawahannya. Di raihnya gawai vici dan menekan spikernya.

"Tidak bisa, Pak," jawab Fara cepat namun sopan, tanpa gentar. "Jika waktu Mbak Vici digeser, jadwal istirahatnya akan terpotong. Besok pagi kita harus melakukan perjalanan ke Auckland untuk pemotretan."

Mendengar itu, Vici menatap Kaisar penuh rasa bersalah. Ia tahu Fara benar, tapi Kaisar di sebelahnya tampak mulai memasang wajah datarnya.

Sebelum Kaisar sempat protes lebih jauh, Vici memutuskan untuk mengambil inisiatif. Ia mematikan ponselnya, lalu menarik wajah Kaisar mendekat. Dalam gerakan lembut namun penuh maksud, ia mengecup pipinya berkali-kali, membuat pria itu akhirnya tersenyum kecil, meski tetap mencoba memasang ekspresi serius.

"aku janji jika jadwalku longgar. Kita habiskan waktu bersama lagi" selalu begitu. Kata-kata peneng untuk kaisar. Dengan janji-janji yang vici seolah mantra. Penang Kiasar padahal ia tahu jika tidak menutup kemungkinan dia akan kecewakan lagi.

Don't Say Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang