"Hidup bukan untuk menjadi apa yang orang lain inginkan."
***
Valta menatap dinding yang sudah dipenuhi lukisan dengan kesan indah dan menenangkan disaat yang bersamaan. Tidak banyak, hanya lukisan natural dengan dua anak kecil yang tengah memandang danau ditengah hutan.
Cz. Ukiran nama pencipta yang terletak dipojok bawah. Ia menatap Cezia yang tengah membereskan alat-alat lukisnya. Ini terhitung sudah tiga hari mereka mengerjakan dinding ini. Hasilnya tentu saja memuaskan. Yaah bagaimana tidak memuaskan jika perpaduan warna yang diberikan Cezia sangat menawan seperti ini.
"Lo bilang lo gak suka seni." Tukas Cezia menatap Valta dan dinding yang baru saja dilukisnya secara bergantian. Tidak. Tidak hanya dia. Valta juga ikut serta dalam lukisan ini. Valta yang mendesain pola dan ia yang memberi warna.
"Suka itu apa?" Balas Valta bertanya
"Yaa sesuka lo. Terus ini?" Tanya Cezia menunjuk dinding. Ini bukan kali pertama ia melihat karya Valta. Yaah walaupun gadis itu bisa dihitung jari dalam melukis.
"Pikir sesuka lo." Jawab Valta. Benci bukan penghalang bukan? Sesimpel itu prinsip Valta tentang ia dan seni. Ia benci seni. Tanpa alasan ia membencinya. Seni terlalu sulit untuk Valta yang monoton.
"Gaji lo udah gue transfer." Ucap Cezia menunjukkan bukti transfer di handphonenya.
Valta tak membalas. Ia malah menatap jam klasik yang menempel didinding ruangan. Sudah pukul sepuluh.
"Besok sekolah."
Terkesan asing karena kalimat itu tidak memiliki keterangan. Namun Cezia mengerti apa yang Valta maksud.
"Itu urusan gue. Ingat, kita kenal cuma dipekerjaan. Gak dengan kehidupan gue yang lain. Ingat batasan lo brengsek." Sentak Cezia. Ia tak pernah suka orang lain mencampuri hidupnya. Apalagi orang asing seperti Valta. Ia tidak cukup dekat apalagi akrab dengan gadis itu. Mereka hanya dua orang asing yang disatukan oleh pekerjaan. Saling membutuhkan. Bisa dibilang simbiosis mutualisme.
Tanpa membalas ucapan Cezia, Valta pergi meninggalkan gadis itu. Ia malas berdebat. Itu akan membuang tenaganya. Lagipula ia dan Cezia hanya orang asing. Ia tadi mengatakan besok sekolah bukan untuk Cezia, melainkan untuk dirinya sendiri. Sayangnya, ucapan yang ia pikir hanya gumaman bisa didengar oleh Cezia.
Tak ingin repot-repot memberikan pembenaran, makanya ia pergi meninggalkan Cezia.
Jalanan di jam seperti sekarang masih ramai, walau tidak seramai dua jam yang lalu. Valta dengan bebas bisa melajukan motornya dengan kecepatan yang ia suka.
Semuanya lancar sebelum seseorang dengan sengaja menendang bagian samping motornya. Tapi itu tak bisa membuat ia kehilangan keseimbangan. Netra tajam dibalik helm itu menatap motor dari orang yang sudah menendangnya dengan sengaja.
Masa bodoh dengan hal itu. Sekarang yang terpenting adalah ia sampai dirumah.
"Urakan, bodoh." Ucapan datar namun menusuk itu masuk kependengaran Valta yang baru saja masuk lewat pintu belakang. Tidak menusuk jika yang mendengarnya adalah Valta. Hanya angin lalu bagi gadis itu. Namun tetap ia berbalik dan menatap pelaku sumber suara.
"Lo dirugiin? Kalo enggak diam." Balas Valta. Jika Bara itu pribadi dingin dan sulit untuk didekati, jangan lupakan yang berdiri didepan laki-laki ini adalah Valta.
"Lo habisin uang bunda bodoh."
"Bacot."
"Lo udah siap mati?" Tatapan elang Bara menghunus Valta. Ia mendekati gadis yang terlahir dari rahim yang sama dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving Stupid
Teen FictionNamanya Valta, murid bodoh yang ditampung secara sukarela oleh Nawasena. Baginya, hidupnya adalah milik dirinya sendiri. Ia mungkin bodoh, tapi tak ada satu orangpun yang bisa membuatnya terintimidasi. Tak ada satupun orang yang bisa memerintahnya...