"Bermain lah dengan cara halus, sehingga tidak satu orangpun sadar dengan permainan yang kamu lakukan."
***
Pemandangan yang membosankan. Itu yang Valta lihat. Sudah satu jam ia duduk di kursi ini, menyaksikan turnamen futsal antara Manggala dan Cempaka Putih.
Bukan keinginannya untuk berada disini. Silas, laki-laki itu yang membawanya kesini. Padahal ia sudah menghabiskan waktu lima menit pangkat dua laki-laki itu. Yang alhasil mengantarkan ia menjadi penumpang Silas dengan kecepatan diambang batas normal. Tak apa, ia tak takut.
Yang ia pikirkan saat ini adalah bagaimana caranya untuk pergi dari sini. Dua orang gadis nampak mengawasinya dari kursi paling ujung. Pasti suruhan Silas. Dan satu lagi, motornya juga tinggal di apartemen bajingan itu. Lalu dengan apa ia harus pulang?
Ketika pertandingan selesai, banyak orang yang masuk kelapangan. Valta memanfaatkannya. Ia berjalan dengan santai keluar dari tribun. Menyelip diantara orang-orang agar bisa hilang dari pandangan dua gadis yang mengawasinya. Ternyata tidak sulit. Buktinya ia sudah berada di halte saat ini.
Pulang dengan bus? Tidak buruk. Namun bus yang ia nanti-nanti tidak kunjung datang. Hujan mulai turun. Tidak memberi aba-aba dengan gerimis terlebih dahulu. Ia langsung mengguyur dalam debit yang banyak.
Aihhh Valta benci adegan klasik seperti ini.
Matanya sedikit menyipit melihat motor yang tak jauh dikelokan depan sana.
"Bajingan." Maki Valta. Makian itu ia tujukan kepada Silas yang tengah berboncengan dengan Alana.
Alana? Kenapa ia tidak melihatnya sejak tadi.
Sepertinya Valta melupakan satu hal. Ini sudah menjadi kebiasaan Alana. Setiap kembarannya tanding pasti ia akan selalu hadir. Satu lagi, hadiah mengejutkannya Alan dan Silas itu satu sekolah. Bahkan tergabung dalam tim yang sama.
Apa ia harus mengumpat lagi? Lihatlah, Alan melewatinya begitu saja. Padahal jelas-jelas cowok itu melihatnya.
Tapi Valta tak mempermasalahkan hal itu. Ia juga tidak mengharapkan tumpangan dari sampah seperti Alan. Orang asing tidak boleh terlalu berinteraksi.
Dia Valta, pantang baginya mengemis bantuan kepada orang lain. Jika memang tidak ada bus yang lewat, maka kakinya masih berfungsi dengan baik untuk pulang. Ia tidak butuh tumpangan. Karena kakinya lebih baik dari tumpangan apapun.
Berjalan menyusuri jalan yang sepi karena hujan yang mengguyur bumi. Tidak ada yang bisa Valta selamatkan dari air. Semuanya sudah basah.
Ia memperhatikan langkah kakinya dengan seksama. Bergantian melihat rintik hujan yang jatuh menerpanya. Sesekali memejamkan mata untuk menghitung seberapa banyak rintik yang mengenainya.
"Empat puluh tujuh perdetik." Gadis itu menggumam.
"Lima menit bisa menghasilkan cahaya lampu LED lima watt."
Pendengarannya menangkap suara mobil yang mendekat. Mungkin tidak terdengar jelas karena guyuran hujan. Tapi telinga Valta cukup sensitif akan suara.
Seorang pria muda berbadan tegap datang menghampirinya dengan membawa payung.
"Nona Valta, mari. Tuan menunggu di mobil." Pria itu berucap dengan sopan kepada anak atasannya.
Valta melirik mobil hitam yang berhenti di belakangnya. Lalu ia menatap pria di depannya. Ia tidak menerima payung yang pria itu berikan.
"Rachief, sangat mudah untuk memutus tapi sulit untuk menyambung."
Lawan bicaranya tidak membalas ucapan Valta. Namun tetap berusaha untuk memayunginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving Stupid
Teen FictionNamanya Valta, murid bodoh yang ditampung secara sukarela oleh Nawasena. Baginya, hidupnya adalah milik dirinya sendiri. Ia mungkin bodoh, tapi tak ada satu orangpun yang bisa membuatnya terintimidasi. Tak ada satupun orang yang bisa memerintahnya...