"Kalin ingin melihat? Maka lihatlah, karena kami akan terus melangkah.
Kalian ingin menghujat? Silahkan, karena kami akan tutup telinga."
***
Ditengah ramainya kendaraan menjelang matahari yang benar-benar kembali ke peraduan. Valta membelokkan motornya kearah kiri, mengikuti jalan lurus yang bebas seperti tol. Banyaknya pepohonan mendominasi. Yah, untuk menuju kontrakannya ia harus memutar arah jika berangkat dari Nawasena.
Panasnya cahaya matahari tak lagi terasa menyengat, hanya memberi rasa hangat bagi setiap kulit yang dilaluinya. Kurang lebih itu juga dirasakan oleh Valta.
Bruuuum
Bruuuuum
Bunyi suara geruman motor yang saling menyahut satu dengan yang lain dalam rentang waktu tipis masuk kedalam pendengaran Valta. Motornya yang tidak memiliki kaca spion, membuat Valta harus memutar kepalanya kebelakang.
"Manggala?" Monolog Valta bertanya.
Tidak salah lagi, itu memang anak Manggala. Beberapa motor yang ada dibelakang sana adalah motor yang sama yang digunakan anak-anak Manggala ketika mengeroyok Valcano.
Kali ini apa lagi yang mereka inginkan?
Bukan sekali dua kali ia berurusan dengan anak Manggala, dua tahun ini mereka selalu menjadi mimpi karam bagi Valta. Dari hari ke hari, minggu ke minggu dengan orang yang terus berganti.
Baru enam bulan ini ia berurusan dengan orang-orang yang sama. Membantai habis mereka semua, tentu ia tak bisa. Jika melawan pun percuma, ia akan kalah jumlah, dan itu hanya akan buang-buang tenaga. Pilihannya hanya satu, yaitu menghindar seperti biasa.
Pedal gas ditangan kanan semakin ia tarik kearah belakang, berusaha secepat mungkin untuk menjauh dari kumpulan delapan motor yang masih berusaha untuk mengejarnya. Ia bukan pembalap, bukan pula anak geng motor. Membawa kendaraan ini dalam kecepatan diatas rata-rata bukanlah keahliannya. Tapi ia bisa melakukan itu.
Valta tak tahu, entah mereka anggota geng motor atau tidak. Yang ia tahu hanya satu, anak-anak itu lihai mengendarai motor. Lihatlah, bahkan dengan mudah mereka bisa menyusulnya. Menjadikan ia berada ditengah dengan keadaan terjepit diantara motor lainnya.
Sesekali mereka menendang bagian samping motor Valta, namun tak berhasil membuat Valta kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
"BERHENTI DONG WOI!"
Dukkk
Motor bagian kiri kembali menendang kearah Valta.
"TAPI GAPAPA JUGA SIH! LO MAU TERUS MAIN YA?! OKE-OKE GUE JABANIN!"
Itu semua omong kosong, buktinya mereka berhasil membuat laju motor Valta terhenti ditengah-tengah. Mereka semua mengelilingi Valta membentuk lingkaran.
Bruuuuuum
Bruuuuuum
Asap putih mulai berhembus menuju titik pusat, yakni Valta sendiri.
Muak, jengah, Valta malas berurusan dengan orang-orang ini. Ia memang selalu menghindar, membuat orang-orang menganggapnya pengecut. Mereka menjadikan dirinya bualan, seolah ia adalah permainan dan mereka pemainnya.
Tidak melawan bukan berarti Valta kalah, bukan berarti ia takut. Jujur, ia memang hanya benar-benar malas jika harus membuang tenaganya untuk hal tidak berguna.
Mereka berhenti, tepat dengan posisi yang masih membentuk lingkaran. Delapan motor itu membuat Valta terperangkap. Tak memiliki jalan untuk keluar.
"Hai,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving Stupid
Teen FictionNamanya Valta, murid bodoh yang ditampung secara sukarela oleh Nawasena. Baginya, hidupnya adalah milik dirinya sendiri. Ia mungkin bodoh, tapi tak ada satu orangpun yang bisa membuatnya terintimidasi. Tak ada satupun orang yang bisa memerintahnya...