"Hidupmu terlalu berarti untuk menyerah karena dipecundangi keadaan."
***
Valta memilih menepi ketika matanya tak sengaja menangkap pemandangan yang seringkali sudah ia lihat. Namun, entah kenapa tangannya masih saja ingin untuk menekan rem dan berbelok kearah pinggir.
Jalanan masih ramai, padahal sudah sejak beberapa jam lalu aktivitas manusia dimulai. Ia tidak bolos, hanya sedikit terlambat saja.
Ini bukan kali pertama ia melihat hal serupa. Pangeran yang terluka kemudian diobati oleh putri salju. Yah, adegan yang tak pernah sekalipun ia tonton filmnya namun ia saksikan secara langsung.
Yang berbeda adalah, waktunya. Ini adalah perdana kedua manusia yang di mabuk cinta itu mengambil jam pelajaran. Padahal Valta yakin, seharusnya kedua orang itu sudah berada di sekolah sejak tadi. Duduk tenang di dalam kelas dan menyimak pembelajaran.
Untuk yang putri salju mungkin begitu, sedangkan untuk pangerannya? Valta tidak yakin.
Elsilas itu bukan tipe murid rajin yang akan selalu hadir disetiap pelajaran. Ia hanya akan masuk kelas ketika dirinya mau. Jika tidak, palingan ia hanya akan menghuni ruangan khusus yang disediakan untuk sepuluh teratas Manggala. Sangat berbanding terbalik dengan Alana, murid ambis yang tidak akan pernah melewatkan kelas bahkan ketika sakit sekalipun.
"Lo gak pernah bosan bolos ya?" Pertanyaan dengan nada sarkas itu masuk kedalam indra pendengaran Valta. Ia menoleh, menatap pelaku yang merupakan asal suara.
Perempuan dua puluhan yang menggunakan pakaian kasual langsung ditangkap oleh saraf sensorik penglihatannya. Yang namanya anak Jeref Alathas memang tak pernah tampil dalam bentuk memalukan. Lihatlah perempuan didepannya ini, jelas sekali pakaiannya yang simpel itu memiliki harga selangit.
"Urusannya sama lo apa?" Balik Valta bertanya.
"Gue udah bilang berkali-kali. Tapi kayaknya otak kosong lo emang gak bisa nyimpan kata-kata gue dalam waktu yang lama." Briana mendorong kepala Valta menggunakan dua jarinya.
"Bagus kan?" Tanya Valta merasa tak masalah sama sekali dengan penghinaan yang baru saja diberikan Briana. Perempuan itu mempermasalahkan ia yang berada disini. Lantas, dia sendiri sedang apa? Padahal Trisakti berlawanan arah dengan jalan ini.
"Woi Bri! Ayok! Es nya udah dapet nih!" Seorang perempuan mengangkat kantong es ditangannya disebrang jalan sana. Suaranya cukup keras, sampai dalam ramainya kendaraan suaranya masih sampai ke tujuan.
"Bodoh!" Sarkas Briana menatap tajam Valta.
"Itu gue." Jawab Valta.
"Yes, that's a fact. Turns out you admitted it too." Ujar Briana sebelum menyebrang dan meninggalkan Valta.
Valta menatap kepergian perempuan dengan kacamata anti radiasi tersebut. Sesingkat ini? Ah ia lupa, memang kapan ia berbicara panjang lebar dengan perempuan bernama Briana itu? Bahkan tujuh belas tahun kehidupannya belum pernah tercatat sejarah ia menghabiskan waktu selama lima belas menit untuk bercengkrama bersama Briana.
"Jalan neng." Suara itu terdengar bersamaan dengan gerakan yang tercipta di jok belakang motornya.
"Ayoklah, kita udah sama-sama telat. Jadi tebengin gue sampai ke sekolah gak masalah kan?" Ujar Gilang dengan wajah tak berdosanya. Ia tidak hanya membawa tas, tapi juga membawa gitar dengan tangan kirinya.
"Atau, biar gue yang bawa motor." Imbuh Gilang tak merasa canggung sama sekali. Mereka teman kelas kan?
Sial. Bajingan diujung sana melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving Stupid
Teen FictionNamanya Valta, murid bodoh yang ditampung secara sukarela oleh Nawasena. Baginya, hidupnya adalah milik dirinya sendiri. Ia mungkin bodoh, tapi tak ada satu orangpun yang bisa membuatnya terintimidasi. Tak ada satupun orang yang bisa memerintahnya...