"Jangan lihat bagaimana ia melangkah. Karena bisa jadi ketika kamu terlalu fokus memperhatikannya, kamu akan terkejut ketika ia ternyata sudah berada jauh didepan sana."
***
"Gimana sekolah lo?"
Cowok SMP dengan baju tidur hitam itu langsung menoleh menuju pintu. Sebenarnya, saraf sensorik di telinganya sudah peka semenjak ia mendengar suara pintu yang terbuka. Namun, ia lebih memilih untuk mengabaikannya dan tetap berjibaku dengan kumpulan soal dihadapannya.
"Baik." Jawab Valcano. Memang baik kan? Tidak ada yang buruk, dan tidak ada kejutan juga. Semuanya berjalan seperti biasa.
"Tadi pulang jam berapa?" Briana sama sekali tak masalah dengan jawaban singkat adik bungsunya itu. Seperti menghadapi ayahnya yang irit kata, menghadapi Valcano adalah hal biasa baginya.
"Jam lima."
"Yakin?" Tanya Briana. Ia sudah melihat CCTV rumah, jadi mustahil Valcano bisa berbohong kepadanya.
"Gue bisa urus diri gue sendiri." Ujar Valcano. Ia menatap kakaknya dengan tatapan yang menghunus tajam. Lupakan dulu soal tata krama yang diajarkan guru pilihan Jeref, saat ini hanya ada ia dan Briana disini. Tak perlu ada kebohongan diantara mereka.
"Kapan gue bilang gak bisa?" Jawab Briana malah bertanya. Inilah ia yang sebenarnya. Rumah dan lingkungan luar adalah dua hal yang berbeda. Hanya di rumah, ia bisa mengekspresikan segala emosi yang ia punya. Sedangkan diluar, ia harus menjunjung tinggi tata krama.
"Dengan lo selalu awasi pergerakan gue, secara gak langsung lo nganggap gue gak berguna, kak."
Tak ada jawaban yang diberikan Briana. Perempuan itu malah mendekat dan menutup semua buku yang masih terbuka.
"Tidur, tubuh lo butuh istirahat." Ujarnya sambil berbalik untuk berjalan keluar dari kamar Valcano.
"Lo mikirin tubuh gue, tapi lo lupa sama tubuh lo sendiri kak."
Agaknya kalimat itu masih bisa didengar Briana, tapi ia tak peduli. Ia menutup pintu kamar Valcano, lalu berjalan menuju kamarnya. Kamar mereka bersebelahan. Jadi tak banyak tenaga yang harus ia keluarkan untuk berjalan.
Masuk ke kamar dengan nuansa abu-abu putih itu, mata masih bisa melihat semua isinya dengan jelas. Lampu utama kamar Briana masih menyala dengan terang.
Semuanya tertata rapi, khas jiwa perempuan. Apalagi ditambah dengan jiwa perfeksionis yang dimiliki perempuan itu, mustahil kamarnya akan berantakan.
Laptop masih menyala dimeja belajar, buku-buku tebal itu masih terbuka. Melihat itu, Briana menghela nafas sejenak. Ia berjalan menuju kaca besar yang langsung menghadap ke halaman depan. Ia menyibak gorden yang menutupi kaca tersebut.
Melirik sebentar jam yang terpasang di dinding, ia menyipitkan matanya untuk menatap area bawah. Ini sudah terlalu larut, tapi ayahnya belum pulang. Selalu seperti ini, mereka mungkin tak kekurangan bagian finansial, kasih sayang pun juga tidak. Tapi mereka kekurangan waktu untuk bersama.
Inilah keluarganya.
Kembali ke meja belajar, Briana membawa buku tebal itu kepangkuannya. Malam ini buku ini harus ia tamatkan, agar besok ia bisa mempelajari buku yang lain.
"Semangat Bri, lo bisa." Monolog perempuan itu meyakinkan dirinya sendiri.
🍒
Jalanan kota sudah semakin padat disaat mata hari semakin naik ke permukaan. Banyaknya bunyi klakson yang saling sahut-menyahut terjadi ketika jalan benar benar tidak bisa dilewati sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving Stupid
Teen FictionNamanya Valta, murid bodoh yang ditampung secara sukarela oleh Nawasena. Baginya, hidupnya adalah milik dirinya sendiri. Ia mungkin bodoh, tapi tak ada satu orangpun yang bisa membuatnya terintimidasi. Tak ada satupun orang yang bisa memerintahnya...