This is the Truth

34 7 0
                                    

"Tak ada yang benar-benar abadi di dunia ini. Tak ada teman yang benar-benar peduli. Tapi nyatanya itu salah, aku menemukan teman sekaligus keabadian dalam hidup. Rasa sakit, itulah dia."

***


Tetes demi tetes cairan berwarna merah itu jatuh kelantai. Warnanya cukup terang, sangat kontras dengan warna marmer abu-abu yang berada dibawah.

Bukannya berkurang, tetesan itu malah semakin banyak. Orang normal tentunya akan menghentikan pendarahan itu. Namun, dia berbeda. Yang ia lakukan sekarang adalah caranya untuk bahagia.

Semakin menyayat dan menambah luka baru dipergelangan tangan cantik itu. Senyum manis terbit dari bibir gadis yang duduk menyandar ke dinding tersebut. Ia menikmati setiap sensasi yang timbul akibat goresan yang ia buat.

Ya, Cezia bukan hanya pintar melukis. Namun ia juga pintar mengukir. Mengukir tangannya dengan banyak garis abstrak yang tak perlu diberi warna. Karena tanpa ia warnai pun, sudah ada pewarna alami yang timbul akibat ukirannya.

"Mi, Cez capek." Malam menjadi saksi bisu akan suara lirih yang menyatu bersama angin. Membawanya terbang, melayang diruang yang hampa.

Cezia menyandarkan kepalanya ke dinding belakang. Sesekali ia memejamkan mata dalam rentang waktu  yang ia hitung secara manual. Kilasan demi kilasan ingatan sedang berperang di otaknya. Ia tersenyum, ia harap semuanya tak akan pernah ia lupakan.

Tangannya dibiarkan begitu saja, gadis dengan wajah memar itu masih sibuk dengan pikirannya.

"Jemput Cez mi, gak ada yang sayang sama Cez disini." Runtuh sudah pertahanan gadis tomboy itu. Ia membuat dua aliran ditubuhnya. Yang pertama untuk rembesan darah, dan yang kedua untuk rembesan air mata.

Plak

"SIALAN KAMU! SAYA SURUH KAMU BELAJAR! BUKAN KELAYAPAN BEGINI, CEZIA!" Pria paruh baya itu berteriak dengan wajah merah padam kepada putrinya. Seolah tak puas, ia menampar wajah tirus yang nampak manis itu berulangkali.

"Aku gak kelayapan Pi," bantah Cezia. Ia hanya telat pulang lima belas menit. Dan papinya langsung menamparnya. Pria itu tak ingin mendengar penjelasannya terlebih dahulu.

"BERANI MENJAWAB KAMU?!" Entah setan mana yang merasuki pria itu sampai dengan teganya menjambak rambut anaknya sendiri.

Cezia berusaha melepaskan tangan ayahnya itu dari rambutnya. Jujur, ini menyakitkan. Walau bukan kali pertama ia merasakan ini, tetap saja ia merasakan sakit. Bukan, bukan fisiknya yang sakit, namun hatinya yang diremukkan.

"P-pi le-lepasin, s-sakit." Ringis Cezia dengan tangan yang memegang tangan kokoh yang menjambak rambutnya tersebut.

"JIKA SAYA MELIHAT KAMU KELAYAPAN LAGI, KAMU AKAN RASAKAN YANG LEBIH BERAT DIBANDING INI!"

"NGERTI KAMU?!"

"Lula pulang." Suara manis itu sontak mengalihkan perhatian dua orang ayah dan anak tersebut.

Mereka sama-sama menatap kearah gadis dengan seragam lengkap yang baru saja datang.

"Maaf Pi, tadi ada rapat OSIS." Jelas Lula sambil mendekat kearah Delon, ayah dari dua gadis tersebut.

Delon mengangguk, ia memberi senyum singkat kepada putrinya itu."Bersih-bersih gih, lalu istirahat."

Mendapatkan izin dari Delon, Lula lantas mengangguk. Ia segera beranjak dari tempat itu. Ia tidak ingin melihat apa yang ada disana. Tidak, itu sudah ia lihat hampir setiap hari. Dan berhasil membuatnya muak dengan itu semua.

Loving Stupid Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang