BAB 2 : Om Spiderman

5.6K 347 6
                                    

Fyi, di sini bakal banyak scene Charlotte-Miguel. Tapi nggak ada Rigel, Karina, dan Tasya. Maybe pertengahan atau menuju ending. Karena ini Throwback, konflik yang sebenernya terjadi di keluarga Charlotte, jauh sebelum Rigel tahu kalau si Charlotte anaknya Dylan.

Dan pasti kalian bertanya-tanya, "Kak, di lapak Begin Again, Charlotte nggak punya kakak."

"Kata Dylan, dia pernah nikah, terus cerai, dan rujuk lagi. Kok, di sini beda?"

Semua orang pasti pernah bohong untuk menutupi aib, kan?Apalagi posisinya Dylan belum bisa nerima kondisi anaknya. Dia nggak malu punya anak istimewa kayak Maxwell, dia cuma marah sama takdir; kalau memang itu hukuman dari Tuhan, nggak seharusnya Maxwell yang nanggung.

Ya pokoknya gitu lah, nanti juga ngerti kok :D

Happy reading!





















Max dimasukkan ke sekolah inklusi --yang mana agar ia dapat berbaur dengan teman-teman seusianya. Dan rasa syukur tak henti-hentinya Dylan panjatkan, karena teman-teman Max sudi merangkul anaknya walau dengan keterbatan bocah berambut agak gondrong tersebut. Ah, omong-omong Dylan tidak ikut turun. Hanya mengawasi anaknya yang didampingi sang baby sitter dari mobil.

"Kamu memang harus berkembang, Maxwell," gumam Dylan, lirih.

Mata elang pria itu tidak lepas dari sosok Maxwell yang terlihat sangat aktif. Dibalik keterbatasannya, Max memang anak yang aktif dan penyayang. Hanya saja, terkadang dia tidak mampu menyampaikan keinginannya dengan baik.

"Max, sini," panggil Rika karena Max justru melompat-lompat kesenangan melihat bubble menari-nari di sekitarnya, bubble yang diciptakan oleh Raina --temannya. "Coba lihat, William bawain apa buat Max."

"Max, aku minta maaf ya? Kemaren aku udah bikin kamu sebel." Bocah laki-laki berwajah bule yang Dylan tebak bernama William itu mendekati Max yang seketika berhenti melompat, menoleh menatap William yang kemudian menyodorkan mobil-mobilan mini. "For you," katanya.

Melihat potret tersebut, Dylan seakan tertampar. Bibirnya meringis samar. Anak sekecil William saja tahu bagaimana cara meminta maaf, kenapa dirinya tidak? Ia justru mengukuhkan gengsi, padahal hatinya cukup nyeri. Walau sebenarnya ia tidak ingin menyakiti kedua anaknya lewat lisan, tapi ia juga tidak tahu bagaimana cara meredam amarah. Dylan belum bisa mengelola emosionalnya dengan baik.

"Bilang apa, Max?" pancing Rika.

"Makasih," ucap Max, menerima mobil-mobilan pemberian William.

Lalu, mereka melenggang masuk ke kelas.

"Max, tunggu!" seru Raina, "Iih! Kan aku yang ajak kamu main bubble duluan! Kenapa malah pergi sama Bule Jelek sih?!" sungutnya, misuh-misuh, kemudian menyusul Max dan Iam --panggilan akrab William.

Dylan geleng-geleng menyaksikan tingkah bocah perempuan seumuran Max. Persis Charlotte tiap kesal karena tak dihiraukan Max. Hingga ponselnya berdering pendek --menandakan pesan masuk, fokus sontak Dylan teralih. Berharap dari Tari, tapi angannya patah oleh secuil nama.

Gusti.

Teman SMA-nya yang kini berprofesi sebagai pengacara.

Teman SMA-nya yang kini berprofesi sebagai pengacara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ring A Bell [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang