BAB 11 : Selingkuh

4.7K 188 9
                                    

Diberi ruang untuk bicara, Dylan mendadak blank. Pria itu berusaha menghindari kontak mata ketika sang ibu menetapkan netra ke arahnya, sedang di pangkuannya ada Max yang sejak tadi menatap wanita paruh baya di sebelah papinya.

"Apa kabar?" Kalimat pembuka yang terdengar canggung itu, buat Max mengerjap bingung, walau pertanyaan tersebut tidak ditujukan padanya.

"Alhamdulillah, baik," jawab Dylan, pelan.

"Ini ... putramu?" Mata Amel teralih pada Max, bibirnya menyungging senyum tipis. Dibalas Max dengan senyum lebar. Sementara Dylan mengangguk menanggapi. "Tampan sekali cucu Mama," puji Amel, menyorot kagum bocah laki-laki berbadan agak gempal. Mirip dengan Dylan sewaktu kecil. "Hai, Max," sapanya, kaku.

Max melambai dan membalas. "Hai."

"Kamu muridnya Tante Fara ya?" tebak Amel, mencoba mengakrabkan diri.

Dan Max terlihat bingung.

Segera Dylan menjelaskan, "Bukan, Ma. Yang muridnya Fara itu putriku, Charlotte."

"Putri?" ulang Amel, bingung.

Dylan mengangguk. "Anak keduaku sama Tari, Ma."

"Jadi?" Amel terkesiap. Kembali Dylan mengangguk. "Di mana dia sekarang?"

"Itu," tunjuk Dylan dengan dagu.

Fokus Amel berpindah pada sesosok anak perempuan yang siang itu mengenakan rok bermotif bunga-bunga. Rambut hitam sepunggungnya dibiarkan tergerai dengan bandana yang menghiasi kepala. Pahatan wajah si bocah agak mirip dengan Dylan, sisanya seperti duplikat Tari. Kebalikan dengan Maxwell yang seolah versi sachet-nya Dylan.

"Cantik," gumam Amel, menatap kagum cucu perempuannya.

"Kok, Mama bisa tahu kalau aku ada di sini? Fara ya yang ngasih tahu?" selidik Dylan dengan sorot mengintimidasi.

Memalingkan pandangan, Amel mengangguk tanpa menyangkal. "Ya."

Terjadi hening selama beberapa saat sebelum ayah dua anak itu angkat bicara lagi. "Untuk apa, Ma? Nggak seharusnya Mama nemuin anak nggak tahu diri kayak aku." Dylan tidak sedang merendah untuk meroket. Apa yang ia lontarkan barusan sesuai dengan realita.

Setelah menghamili anak gadis orang, Dylan sempat dihajar dan dicaci maki habis-habisan oleh bapaknya, lalu diusur dari rumah—bahkan sederet fasilitas yang ia nikmati sebelumnya ditarik paksa oleh bapaknya tanpa welas. Wajar. Orang tua mana yang akan dengan santai membenarkan kekhilafan sang anak? Orang tua mana yang tidak malu dengan kelakuan bejat satu-satunya anak yang diharap mampu memenuhi ekspektasi mereka? Dan orang tua mana yang tidak sakit hatinya—setelah dikecewakan, si anak bukannya minta maaf, malah pergi begitu saja.

Tingkat kekecewaan Amel dan Reza memang setara, tapi dibanding Reza, Amel masih punya hati nurani untuk menerima sang putra. Sebab ia telah kehilangan anak perempuannya.

"Kalau bicara soal masa lalu, kamu memang salah, dan Mama amat sangat kecewa," tandas Amel, dengan mata berkaca-kaca. "Tapi Mama lebih kecewa, ketika kamu tahu kamu salah, bukannya minta maaf dan memperbaiki diri, malah pergi gitu aja." Tatapannya semakin layu. "Walaupun sebagai ibu, Mama nggak bisa terus-terusan menebalkan ego."

Dylan mengerjap, dibalasnya tatapan sang ibu.

"Sekarang kamu sudah menjadi orang tua," lanjut Amel. "Kamu tentu paham gimana dilemanya kamu ketika anakmu berbuat salah, tapi di sisi lain kamu juga nggak tega untuk memarahinya, meskipun kamu tahu kesalahannya tidak bisa ditolerir."

Kali ini Dylan bungkam seribu bahasa, kepalanya tertunduk dalam. Andai ibunya tahu apa yang sebenarnya terjadi selama sembilan tahun pernikahan—tepatnya setelah Dylan memutuskan pergi dari rumah dan meninggalkan kedua orang tuanya. Dylan tidak benar-benar berperan sebagai orang tua. Saat inipun dia masih belajar cara mengasuh kedua anaknya. Potret yang dijumpai ibunya kini—yang mungkin saja menggambarkan figur seorang ayah yang baik, yang sudi menemani anak-anaknya—adalah apa yang Dylan sesali di detik saat ia bertemu ibunya.

Ring A Bell [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang