"Yang Bapak butuhkan hanya kamu, Nak. Obat Bapak itu adalah kamu."
-Adanu Daryanta
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Pagi ini, suasana nampak mendung. Di kamar milik Sang Ayah. Karina masih setia menemani Danu yang tengah terbaring lemah di atas ranjang.
Asam lambungnya kambuh. Ditambah gula darahnya yang tinggi membuat Danu harus berakhir terbaring tak berdaya. Karina sedari tadi sudah membujuknya untuk dibawa ke klinik. Tetapi Danu terus saja menolak.
"Bapak lebih baik dirawat di klinik saja," bujuk Karina dengan suara parau. Menggenggam tangan Sang Ayah dan mengusapnya dengan lembut. Danu menggeleng. Wajahnya pucat pasi, dan matanya terlihat sayu.
Karina menghela napas. Tidak tega melihat keadaan Danu yang memprihatinkan. "Ke klinik, ya, Pak?" Karina tidak menyerah untuk membujuk Danu. Walaupun selalu penolakan yang ia dapatkan.
"Pak,"
"Bapak di rumah saja, Rin. Bapak tidak mau dirawat di klinik."
"Setidaknya Bapak mendapatkan perawatan intensif di sana. Obat-obatan di sana juga lengkap, Pak. Kalau Bapak tidak dirawat, memangnya Bapak tidak mau sembuh?" ucap Karina panjang lebar dengan bibir yang bergetar. Mata gadis itu kini berkaca-kaca.
"Rin, dengarkan Bapak. Obat tidak selalu berbentuk pil. Melihat kamu tersenyum saja, Bapak merasa lebih baik,"
"Tapi, Pak..."
Danu menggeleng sambil diiringi senyum kecil. Lantas berkata, "Yang Bapak butuhkan hanya kamu, Nak. Obat Bapak itu adalah kamu."
Karina mendengus. Baiklah, Karina menyerah sekarang. Kalau sudah begini, gadis itu tidak akan bisa berbuat apa-apa. Ayahnya ini memang sedikit keras kepala.
"Yasudah kalau itu maunya Bapak. Bapak sekarang istirahat, ya. Arin mau membuat bubur sama bersih-bersih rumah." ucap Karina. Danu mengangguk mengiyakan.
"Tunggu, Rin." saat Karina hendak keluar dari kamar, Danu mencekal tangan Karina. "Iya, Pak? Ada yang dibutuhkan?"
"Kamu hari ini tidak masuk sekolah? Sekolah kamu diliburkan, ya?" tanya Danu memastikan.
Yang ditanya tersenyum, "Bukan begitu, Pak. Arin izin tidak masuk hari ini. Nanti kalau Arin berangkat ke sekolah, Bapak sama siapa? Arin tidak berani meninggalkan Bapak sendiri." ujar Karina membuat Danu menghangat. Untuk kesekian kalinya, Danu bersyukur.
Tapi disisi lain, Danu merasa bersalah. Andai saja istrinya tidak pergi. Andai saja ia tidak sakit-sakitan seperti ini. Karina, putri cantiknya itu, tidak akan merasakan pahitnya kehidupan. Danu hanya bisa berandai-andai saat ini.
"Sudah, ya, Pak? Bapak lebih baik sekarang istirahat. Biar Arin yang urus semuanya. Arin keluar dulu, ya?"
Danu tersenyum simpul melihat punggung Sang anak yang mulai hilang. Ia kalut, kini pandangannya hanya ke langit-langit kamarnya. Maaf, batinnya.
***
Karina, gadis berparas dahayu dengan iris mata kecoklatan, ditambah rambut panjang yang ia kepang. Kini tengah berada di dapur untuk membuatkan Sang Ayah bubur ayam.
Tangannya dengan cekatan mencampurkan semua bahan yang ada tanpa melakukan kesalahan sedikit pun. Ia mengambil wadah dan meletakkannya di atas kompor. Tak lupa menyalakan kompor dengan api sedang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluk Aku, ya, Pak?
General FictionBagi Karina, ayahnya adalah segalanya. Yang menemaninya dalam suka maupun duka. Sedari kecil hidup tanpa figur seorang ibu, membuat Karina sering merasa iri dan sedih. Tetapi, ayahnya tak pernah membiarkannya bersedih. Ayahnya selalu berusaha mengis...