Bila ada typo, tolong tandai.
HAPPY READING!– Illa Wardoyo –
“Aku mencintaimu dan membencimu di saat yang bersamaan.”
– Adanu Daryanta
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Di sebuah rumah yang tidak terlalu besar. Di dalamnya berisi dua orang yang sedari tadi hanya diam. Seorang pria dan wanita. Teh hangat yang disiapkannya tadi, kini sudah menjadi dingin karena terlalu lama dibiarkan. Bahkan sama sekali tidak disentuh.
Karena heningnya suasana di rumah itu, suara jarum jam sampai terdengar. Terdengar helaan napas panjang dari si pria dan si wanita yang tengah menekan-nekan ibu jarinya sendiri. Ia gugup.
"Dek,"
"Mas,"
Keduanya saling pandang ketika berucap bersamaan. "Mas dulu saja," kata wanita itu. Pria itu akhirnya mengangguk.
"Ratih Puspita, nama yang indah. Namun, kelakuannya tak seindah namanya. Aku dengar dari Mas Gagari, kamu mau membawa Arin pergi ke Jakarta. Benarkah itu, dek?" pria itu Danu. Ia bertanya pada seorang wanita yang masih berstatus sebagai istrinya. Ratih.
Ratih lantas merasa tersudutkan oleh perkataan Danu. Wanita itu tidak terima. "Kasar sekali ucapan kamu, mas. Mana Mas Danu yang dulunya lembut pada istrinya? Kejam." Danu tertawa pelan. Lantas berdecak pelan dan menyamankan posisi duduknya.
"Sekarang aku tanya. Aku atau kamu yang kejam?" penuh amarah namun Danu berusaha menahannya.
Bibir Ratih seolah dibungkam oleh sesuatu. Ia tidak bisa mengatakan satu kata saja. Danu benar. Ia memang kejam, layaknya monster. Atau mungkin, lebih kejam dari monster.
"Kenapa diam saja?"
"Aku... benar, aku yang kejam." Ratih menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tidak berani menatap mata Danu yang tajam. Danu rasanya ingin tertawa sekencang-kencangnya.
"Dengarkan aku. Aku tidak akan mengizinkan kamu membawa Arin pergi dari sini. Mau kamu mengirim orang-orang suruhanmu itu untuk membawa paksa Arin pergi, monggo. Aku tidak takut." Danu berkata penuh penekanan hingga membuat Ratih sedikit ketakutan.
Teh yang sudah dingin itu pun diminum oleh Danu. Ah, rasanya sudah tidak enak menurut Danu. Lantas Danu berdiri dari duduknya sambil membawa gelas yang berisikan teh dan menuju ke dapur. Ia pergi tanpa berkata apa pun meninggalkan Ratih yang masih terdiam.
Di dapur, Danu menyalakan kompor gasnya dan kembali membuat teh hangat. Tentunya membuat dua gelas.
"Ini, silahkan diminum selagi hangat. Kalau dingin tidak enak rasanya." ucap Danu saat kembali ke ruang tengah. Mempersilahkan Ratih untuk meminum teh tersebut.
"Tujuh belas tahun kamu pergi dari sini. Waktu yang tidak sebentar," hembusan napas terdengar dari Danu. Ratih pun mengiyakan ucapan Danu.
Danu memandangi penampilan Ratih dari bawah ke atas dan terakhir tatapannya terpaku pada mata Ratih yang sudah tidak menundukkan kepalanya. Tidak banyak yang berubah dari Ratih. Hanya penampilannya yang modis dan riasan di wajah yang tidak terlalu tebal.
Ratih yang ditatap lekat oleh Danu pun menjadi salah tingkah. "Jangan tatap aku seperti itu,"
"Kenapa memangnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluk Aku, ya, Pak?
General FictionBagi Karina, ayahnya adalah segalanya. Yang menemaninya dalam suka maupun duka. Sedari kecil hidup tanpa figur seorang ibu, membuat Karina sering merasa iri dan sedih. Tetapi, ayahnya tak pernah membiarkannya bersedih. Ayahnya selalu berusaha mengis...