13. Rasa Benci yang Perlahan Muncul

179 68 6
                                    

Bila ada typo, tolong tandai.
HAPPY READING!

– Illa Wardoyo –




















"Ini Ibu, Nak,"

"Ibu?"

Ratih mengangguk cepat. Senyuman pun semakin terlihat di bibirnya. Rasa senang dan haru menjadi satu. Ia benar-benar seperti sedang bermimpi, benarkah remaja perempuan yang berada di hadapannya ini adalah putri yang ditinggalkannya dulu?

Sungguh, Ratih tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Ia kembali lalu bertemu suami dan putri cantiknya.

"Maaf, tapi Arin tidak punya Ibu." Karina berucap dengan begitu dinginnya. Tidak ada ekspresi apa pun yang ia tunjukkan. Hanya memasang raut wajah datar.

Lain halnya dengan Ratih. Ia merasa seperti disambar petir. Begitu sakit rasanya ketika mendengar ucapan Sang anak yang tidak mengakuinya sebagai Ibu. Juga Danu dan Gahari yang berada di belakang Ratih membelalakkan matanya.

Tidak seperti yang dipikirkan mereka semua. Mereka pikir, Karina yang notabenenya begitu merindukan Sang Ibu dan selalu menanyakan Ibunya itu, akan begitu bahagia ketika bertemu dengan Ratih. Tapi, tidak. Semua ini malah di luar kendali mereka.

Dalam hati, mereka bertanya-tanya. Ada apa dengan Karina? Mengapa ia menjadi terlihat membenci Sang Ibu?

"Rin, jaga ucapan kamu. Itu Ibu kamu, Nak. Tidak seharusnya kamu berkata seperti itu." Danu akhirnya angkat bicara. Tidak tega pada Ratih yang sedari tadi hanya diam.

"Arin tidak peduli."

Memang terkesan tidak sopan. Namun, itulah yang Karina katakan. Mungkin, baru pertama kali bagi Karina berkata sarkas atau tidak sopan pada orang lain.

Ratih berusaha menggapai tangan Karina. Dengan sedikit kesusahan karena Karina menghindarinya. "Nak... Ibu minta maaf, ya? Ibu tahu, kamu pasti sangat-sangat kecewa dengan perilaku Ibumu ini. Ibumu ini kejam. Ibumu ini adalah seorang monster." derain air mata semakin membasahi wajah cantik Ratih. Isakkan tangis pun juga mengiringinya.

Perlahan namun pasti, ia mengusap lembut tangan Sang anak yang penuh luka. Hatinya teriris. Tidak tega melihat anak semata wayangnya terluka. "Ini pasti sakit, kan? Ibu obati, ya? Biar lukanya cepat sembuh. Ibu tidak mau melihat kamu terluka," ucapnya melirih di akhir kalimat. Seperti menyimpan banyak rasa bersalah.

Netra Ratih yang awalnya terlihat begitu bahagia ketika akan bertemu Karina, kini telah hilang entah kemana. Digantikan oleh kesenduan.

Karina melepas paksa tangan Ratih yang masih memegang tangan yang terluka. "Lepas. Ini menyakitkan." pinta Karina. Ia berbohong. Lukanya tidak sakit sama sekali, namun ia begitu tidak suka jika disentuh oleh 'Ibunya'

Ratih gelagapan. "Maaf, Ibu tidak sengaja. Ibu obati, ya?"

Karina menggeleng. "Tidak perlu. Arin bisa sendiri, tidak membutuhkan bantuan orang lain." nada datar dan tidak ada ekspresi yang ia tunjukkan sama sekali.

"Lebih baik kalian berbicara empat mata. Kami tinggal dulu, ya." itu Gahari yang berucap. Terima kasih, begitu yang Gahari baca dari tatapan Ratih.

Peluk Aku, ya, Pak?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang