Bila ada typo, tolong tandai.
HAPPY READING!– Illa Wardoyo –
୫
“Nanti kalau sudah besar, menikahnya sama aku, ya?”
— Damar Fahri
━─━────༺༻────━─━
"Fahri, ayo sini kejar aku! Ha-ha-ha!"
"Rin, tunggu dulu! Aku sudah tidak kuat berlari!"
Anak perempuan bernama Karina yang masih berusia lima tahun itu memekik kegirangan. Pasalnya ia tengah bermain dengan sepupunya, Fahri.
Sejak tadi, di halaman sebuah rumah, kedua kedua bocah itu tidak berhenti bermain. Berlarian ke sana ke mari. Tidak memedulikan omelan dari ibunya Fahri.
"Ya Allah, kalian kalau dibilangin mbok, ya, nurut sedikit! Lihat, mau hujan! Nanti kalau kalian sakit, siapa memangnya yang kerepotan?!" Itu ibunya Fahri, namanya Lila Kartika. Namun, warga kampung lebih sering memanggilnya Mbak Lita.
Lalu di sisi lain, dua pria yang sedari tadi duduk di sebuah kursi—Danu dan Gahari—tertawa terbahak-bahak. Sampai-sampai salah satu dari mereka memegang perutnya yang sakit akibat tertawa.
Mata Lita memicing. Sapu yang digenggamnya pun ia pukulkan ke meja. Danu serta Gahari terperanjat hebat. Danu yang baru saja akan meminum tehnya mengurungkan niatnya.
Juga Fahri dan Karina yang berhenti bermain-main kejar-kejaran. Karina yang tubuhnya lebih kecil dari Fahri, bersembunyi di balik punggung sepupunya itu. Ah, terlihat menggemaskan sekali. "Bude kalau marah, menakutkan. Arin takut," ucap Karina.
Fahri menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya ia gunakan untuk mendekap Karina yang berada di belakangnya.
"Tenang, kamu aman kalau sama aku." Dengan percaya dirinya, Fahri berujar. Padahal dirinya sendiri juga dilanda rasa takut. Takut-takut kalau disuruh tidur di luar lagi bersama ayahnya oleh ibunya.
Awal mula Fahri pernah tidur di luar karena bocah itu dengan pikiran jahilnya meletakkan setrika yang masih menyala di atas baju milik sang ibu. Pada saat itu, Lita yang tengah menyetrika semua baju tiba-tiba mendapat panggilan telepon. Buru-buru ia menjawab panggilan telepon yang ternyata dari saudara jauh. Sialnya, ia lupa tidak mencabut kabel setrika itu.
Panggilan telepon itu berlangsung cukup lama, sampai Lita mencium bau gosong. Ia membelalakkan matanya dan teringat bajunya.
Lita mengakhiri panggilan telepon itu, dan berlari ke kamarnya. Terkejutnya ia sesampainya di sana. Bau gosong begitu menusuk indra penciuman. Kabel setrika itu cepat-cepat ia cabut. Lantas menyingkirkan setrika ke tempat yang lain.
Sakit hatinya ketika melihat baju berwarna putih bersih itu, sekarang menjadi berlubang dan mengeluarkan bau gosong.
"FAHRI! SINI KAMU!" panggil Lita pada anaknya. Fahri berjalan santai dan tersenyum lebar.
"Iya, Bui?"
Lita menghela napas panjang. Ia harus tenang sebelum bertanya pada sang anak. "Jawab jujur, ya? Ini kamu yang meletakkan setrika di baju Bui?" tanyanya lembut. Dengan entengnya, Fahri mengangguk seperti tidak menanggung beban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluk Aku, ya, Pak?
General FictionBagi Karina, ayahnya adalah segalanya. Yang menemaninya dalam suka maupun duka. Sedari kecil hidup tanpa figur seorang ibu, membuat Karina sering merasa iri dan sedih. Tetapi, ayahnya tak pernah membiarkannya bersedih. Ayahnya selalu berusaha mengis...