Pintar dalam bidang akademik, memenangkan kompetisi lomba maupun cerdas cermat itu adalah salah satu kebanggan tersendiri bagi Farah Adilla. Kepintarannya dalam hal itu membuat kedua orangtuanya bangga.
Tidak orangtuanya saja yang bangga, teman-teman sekolah yang mengetahui pun juga kagum akan hal itu, tetapi suatu kebanggan itu tertutupi oleh rasa serakah dan iri saat ia memasuki sekolah SMA.
Tuntutan dari kedua orangtuanya untuk selalu mendapatkan nilai yang sempurna, prestasi yang sempurna membuat lambat laun membentuk sesuatu dalam diri Farah untuk menjadi yang pertama. Menjadi nomor satu dalam segala hal.
Rasa serakah untuk menjadi yang pertama terus mengembang. Bak seperti singgasana yang tak boleh tersentuh oleh siapapun itu. Perasaan itulah yang membuat Farah tak terima jika ada seseorang yang merebut miliknya.
Pertama kali bagi Farah mendapati nilai yang kurang dalam hidupnya. Kurang dalam artian hanya kurang beberapa angka saja yang membuat Farah menjadi yang kedua.
Saat itu, pelajaran Sejarah sedang mengadakan ulangan harian. Semua mengerjakan dengan serius tanpa ada satupun yang berbicara. Besoknya di jam Sejarah yang sama, ibu guru tersebut membagi dan memberitahu jika nilai terbaik jatuh pada Alvia Salsabila.
Farah mengenal Alvia. Gadis itu terkenal sering ribut dengan Gilang serta Alvia sering terlihat bercanda satu sama lain dengan teman-teman Gilang.
Nilai terbaik kedua baru diberikan olehnya. Cepat-cepat dia menoleh menatap Alvia yang senang sembari menunjukkan lembaran ulangan pada teman-temannya.
Bukan hanya dari ulangan harian saja, ulangan akhir semester pun dia masih menjadi yang kedua. Kedua orangtuanya marah besar ketika melihat prestasi Farah yang menurut mereka turun secara drastis.
Tanpa disadari, raut wajah Farah berubah. Kedua netranya dibakar dengan rasa iri yang bergejolak. Mulai detik itu, Farah menandai Alvia sebagai rivalnya untuk bersaing dalam bidang akademik.
Rasa iri dan serakah itu tak berhenti sampai di situ. Guru-guru bahkan menaruh perhatian pada Alvia yang notabene-nya sering membuat kegaduhan dengan Gilang. Gilang sendiri yang terlihat seperti itu—suka jahil dan tidak serius—ternyata juga pintar dalam hal mata pelajaran.
Saingannya di sini semakin bertambah. Sampai-sampai dia merenung bagaimana cara menyingkirkan keduanya.
"Vi ...," panggil Farah. Ia mendekati Alvia yang sedang menghapus papan kelas di depan.
"Eum?" Alvia bergumam. Tak membalikkan tubuh.
"Gue boleh nggak minta diajarin lo pelajaran Matematika?" tanya Farah pelan. "Gue ngerasa nilai gue kurang di pelajaran Matematika," lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Tapi Mesra
Teen Fiction[CERITA INI DIIKUTKAN DALAM EVENT GREAT AUTHOR FORUM SSP X NEBULA PUBLISHER] "Jangan membenci seseorang terlalu dalam. Soal perasaan nggak ada yang tau ke depannya akan gimana. Awas nanti bisa berubah jadi cinta lho!" Mungkin kalimat itu sudah serin...