Tekanan

527 65 12
                                    

           Happy Reading

Jenan saat ini tengah duduk di meja makan, banyaknya makanan mewah tersaji disini, padahal ini hanya sarapan pagi yang biasa saja.

Jenan adalah anak tunggal di keluarga ini, dia tidak punya saudara sama sekali, hidupnya terbilang membosankan, hanya basket yang bisa membuatnya senang.

"Jenan, gimana sekolah anda, saya harap anda selalu berprestasi dan bisa aktif dalam organisasi. Dan ingat jangan buat masalah." Itu suara Papahnya, Jenan refleks langsung menegakan tubuhnya, dia harus selalu bersikap sopan.

"Baik-baik aja kok Pah, tapi Jenan gak bakal ikut organisasi, Jenan mau meningkatkan prestasi di bidang akademik aja." Jenan kini menatap sang Papah.

Papahnya tidak suka jika Jenan menundukkan kepalanya, itu terlihat sangat lemah dan orang-orang akan mudah menginjaknya.

Papahnya juga selalu berbicara formal pada Jenan, entahlah pikir Jenan, dia sudah biasa di perlakukan seperti itu.

"Bagus kalau begitu, saya cukup senang anda menggambil langkah yang tepat, tidak lagi terobsesi dengan permainan basket, itu cuma akan menghambat anda mencapai tujuan, ingat keluarga kita itu butuh pemimpin perusahaan yang layak, dan itu cuma anda."

"Iya, Pah." Jenan mengiyakan perkataan Papahnya, sedari dulu dia tidak pernah suka dengan impian Jenan yang ingin menjadi pemain basket, katanya itu hanya buang-buang waktu.

"Udah gak usah membicarakan hal kayak gitu, lebih baik kita lanjutkan sarapan," ucap seorang wanita, dia adalah mamahnya Jenan, orang yang selalu mendukung impiannya, walaupun mendukung secara diam-diam.

Mereka kembali fokus pada sarapan, hanya suara dentingan garpu dan pisau yang terdengar, ruangan begitu sunyi. Keluarga Jenan memang selalu menerapkan hal tersebut, tidak boleh berbicara ketika makan.

Papahnya Jenan pun berdiri dari kursi, dia merapihkan bajunya, agar terlihat rapih.

"Jenan, saya harap anda tidak lupa, untuk datang ke acara perusahaan nanti malam, jangan membuat malu saya, anda harus bersikap sopan di sana."

Setelah mengatakan itu Pria tua, yang tak lain adalah Papahnya, pun pergi meninggalkan ruang makan tersebut. Tanpa ingin mendengar ucapan sepatah kata pun dari istrinya dan anaknya.

Jenan mengehela nafas lelah, dia merasa tertekan karena tuntutan Papahnya, harus selalu menjadi anak yang sempurna, bahkan segalanya sudah di atur sejak ia kecil, untuk menjadi pemimpin perusahaan seterusnya.

"Jenan, kamu gak papa kan sayang?" Mamahnya menghampiri Jenan yang tampak lelah dengan semuanya.

"Capek Mah, Jenan cuma pingin jadi pemain basket, dan ingin menjadikan hobi Jenan sebagai cita-cita, bahkan segala sesuatu yang Jenan lakuin selama ini udah di rancang Papahnya." Jenan kini menatap Mamahnya, suaranya sedikit bergetar, dia tidak kuat untuk melanjutkan kenyataan ini.

Buliran air mata mulai menetes dari mata Jenan, turun membasahi pipinya, dia sudah muak dengan semua ini, tapi dia tidak bisa menolak perkataan Papahnya, katakanlah bahwa Jenan adalah orang paling pengecut.

Mamahnya yang semula mendengar perkataan Jenan pun segera memeluk putra satu-satunya, dia tahu bahwa Jenan adalah orang yang sangat penyabar dan penyayang kepada keluarganya.

Jenan kini menangis di pelukan Mamahnya, hanya dia yang selalu mengerti Jenan, dia juga yang membantu Jenan supaya membujuk Papahnya untuk bersekolah di Jakarta, jika bukan karena Mamahnya mungkin dia sudah setres dengan segala aturan dan sikap formal Papahnya.

Semakin memeluk Mamahnya dengan erat, Jenan hanya ingin selalu berada di dekat Mamahnya, Papahnya pun jarang memberi kasih sayang layaknya seorang keluarga, dia selalu merasa semua yang dilakukannya itu seperti bisnis.

Kosan Abi | 04L [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang