amóre. meet

4.5K 249 5
                                    

"Terima kasih, Bibi."

Sebuah kotak berisi ayam goreng kini berada di tangannya. Berbalut kantung plastik putih dengan stempel nama toko ayam terenak dan termurah di daerah tersebut. Pria itu berjalan keluar toko kemudian melangkah pergi. Ia sudah membeli minuman kesukaannya juga beberapa makanan untuk makan malam.

Ia juga sempat pergi ke swalayan membeli roti serta susu.
Juga beberapa bungkus mie instan untuk stok di apartemennya.

Rumahnya berada di lantai tiga.
Gedung dengan 10 lantai itu menjadi tempat singgahnya selama ini. Menaiki anak tangga satu persatu karena elevator masih dalam masa perbaikkan, sesekali berhenti untuk mengatur nafasnya.

Anak tangga terakhir, ia pun meletakkan belanjaannya di lantai dan mencari kunci. Membuka pintu berwarna putih itu lantas masuk ke dalamnya. Sebuah apartemen studio yang terasa nyaman dan aman baginya. Selain karena tempatnya yang kecil dan cukup untuk satu orang, ia juga hanya memiliki satu tetangga di sini, itupun seorang mahasiswa yang jarang pulang karena lebih sering menginap di apartemen kekasihnya.

Ten menyalakan lampu ruang utama. Membuka jaket hangatnya lantas menghela nafas. Di luar cukup dingin, namun entah kenapa Ten merasa gerah sekarang.

Ah, perkenalkan namanya Ten Lee. Usianya 26 tahun, laki-laki, dan ia baru saja dipecat dari kantor sebulan lalu.

Dipecat?
Benar.

Akhir-akhir ini kesehatannya menurun drastis, ia sering merasa lelah dan kurang tidur membuat performa kerjanya ikut turun, mengharuskan ia dipecat setelah 3 tahun bekerja. Selain itu, kontrak kerjanya akan habis sebulan lagi jadi Ten hanya mengiyakan pernyataan tersebut lalu menerima gaji dan uang depositnya.

Kini ia lebih sering menghabiskan waktu sendirian di apartemen. Makan, tidur, makan, tidur.
Meski begitu, kepalanya terasa penuh karena pikiran-pikiran berat membludak di dalam sana.
Uangnya pasti akan menipis, ia tidak punya pekerjaan tetap, ia sendirian, kondisinya juga tidak mendukungnya untuk mencari pekerjaan lagi.

Film romansa campur komedi menjadi tontonannya saat ini.
Layar tablet berukuran 12.9 inchi itu berada di meja makan, diberi sanggahan agar setengah berdiri. Ten mengunyah nasi dan ayamnya selagi mata sayunya memandangi layar tersebut, sesekali terkekeh saat ada bagian film yang menurutnya lucu muncul begitu saja.

"Hahaha..." Ten meletakkan mangkuk nasi di atas meja lalu meneguk minuman dengan perisa jeruk, tangannya yang lain mengusap perut.

Isi dari bongkahan bulat itu menendang selama beberapa saat. Ten tersenyum simpul, menunduk, memandangi bongkahan perutnya dengan tatapan sayang.

"2 bulan lagi kita akan bertemu, aku sangat menantikannya." Ujarnya pelan, "Bagaimana di dalam sana? Apakah ayamnya enak? Masakan Bibi Jeon adalah yang terbaik bukan?"

Bayinya berhenti bergerak. Ten tersenyum tanpa menunjukkan gigi, setelah itu ia kembali memakan sajian makan malamnya. Meski film terputar dan mulut berkunyah, pikirannya berperang dingin.

Dua bulan lagi ia akan melahirkan.
Proses operasi memang tidak membutuhkan banyak waktu namun Ten butuh banyak dana untuk hal itu. Tabungannya bahkan tidak akan cukup walau hanya membayar biaya operasi, bayinya butuh kasur, pakaian, susu, dan yang lainnya untuk di masa depan.

Ia tidak menyesali keputusannya yang bersikeras mempertahankan bayi ini meski mantan kekasihnya terus memintanya membunuh bayi tersebut. Ten dan mantan kekasihnya sempat bertengkar hebat, ia juga menerima kekerasan fisik saat itu, namun Ten memilih pergi. Ia tidak ingin melanjutkan hubungan mereka lagi.

Awal-awal kehamilan, Ten depresi berat dan stres. Kehamilan pertamanya membuatnya sering marah dan emosinya mudah tersulut. Ia benci keramaian, ia benci orang-orang. Ten sempat mencoba untuk membunuh bayi yang dikandungnya, bayi hasil persetubuhan di luar nikah adalah pembawa sial baginya, Ten berpikir demikian saat itu.

Namun, ia menolak.
Ia menolak melakukannya, ia memilih mempertahankan bayi ini.

Ia memang membenci ayah dari bayi ini namun bukan berarti ia harus membenci bayinya juga. Bagaimanapun juga bayi ini hanyalah manusia polos yang sedang berlindung di dalam perut ibunya.

Tidak ada yang tahu tentang kehamilan ini. Hanya dirinya seorang diri.

Setelah makan, Ten membersihkan alat makan dan membasuh mulut serta wajah.
Ia mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih hangat lantas mematikan lampu. Lampu tidur dengan cahaya remang menjadi satu-satunya penerang ruangan kecil itu, Ten juga membuka sedikit tirai pintu agar ia bisa memandangi perkotaan di luar sana.

Ia berbaring miring.
Meletakkan bantal di ujung kaki agar nyaman serta sebuah boneka bulat berbentuk kepala kucing ia peluk erat. Sangat lembut hingga rasanya ia ingin segera tertidur.

Ia harap, besok akan ada keajaiban menghampirinya.
Apapun itu.




.
.
.
.
.
.





Pusat perbelanjaan siang ini terlihat cukup ramai. Toko-toko dengan barang premium terpampang jelas sepanjang jalan. Ten memandangi toko-toko tersebut, mulai dari tas, pakaian, sepatu, perhiasan, bahkan parfum.

Ten senang berjalan-jalan ke sini walau hanya cuci mata.

Langkahnya ia arahkan ke sebuah toko perhiasan. Kilauan di balik kaca bening itu membuatnya mengerjap, berapa harganya? Pasti sangat mahal.

Perhiasan tersebut diimpor langsung dari luar negeri. Permatanya berkilauan, membawa kesan mewah juga elegan. Siapapun yang memakainya pasti akan terlihat menakjubkan.

Sejauh ini Ten pernah mempunyai sebuah cincin yang cukup mahal, ia membelinya pada saat tahun pertama di kantor. Tapi, cincin itu hilang entah kemana hingga akhirnya ia ingat jika cincin itu berada di tangan mantan kekasihnya. Jadi Ten membiarkan cincin itu pergi, ia tidak berniat mengambilnya meski mahal sekalipun.

"Ten Lee?"

Ten mendongak. Ia melihat seorang pria berdiri tak jauh darinya, lebih tepatnya di area jam tangan. Ten memiringkan kepala, mencoba mengingat siapa pria yang tampak familiar ini.

"Hei, bagaimana kabarmu?" Pria itu mendekat, disertai senyuman di wajah tegasnya.

"Aku baik... tapi siapa? Apa kita pernah bertemu di suatu tempat?"

Pria tinggi itu menyadari sesuatu, sepertinya Ten tidak begitu mengingatnya karena nyaris dua tahun mereka tidak pernah bertemu.

"Aku Johnny, Johnny Seo. Kau ingat aku?"

"Ah.."

Johnny Seo, pria tinggi dengan setelan formalnya itu tersenyum lega ketika Ten mengingatnya. Ten ingat, pria di hadapannya ini adalah calon penerus direktur utama di perusahaan sebelah yang sempat bekerja sama dengan perusahaan dimana Ten bekerja.

Ten pernah bertemu dengannya di kantor, ketika Johnny bersama ayahnya yang merupakan direktur utama menghadiri sebuah pertemuan di kantor tersebut.
Yah, pertemuan singkat namun mereka sempat mengobrol sejenak karena Johnny cukup tertarik dengan Ten kala itu.

"Johnny-ssi, senang bertemu denganmu. Maaf aku sempat lupa." Ujar Ten membungkuk berulang kali.

Johnny tidak melepaskan senyumannya, "Tidak apa, wajar jika melupakan seseorang yang tidak lagi pernah bertemu denganmu."




.
.
.
.
.
.

To be continue

.
.
.
.
.
.




- navypearl -

amóre || JohnnyTenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang