Sepanjang perjalanan pulang, Johnny tidak henti-hentinya tersenyum. Kebahagiaan itu masih saja berada di dalam hati, ia berhasil melakukannya, ia berhasil membawa Ten untuk menjadi miliknya.
Lampu lalu lintas berubah merah. Mobil Johnny berada di urutan ketiga di antara mobil lain, butuh waktu 2 menit untuk menunggu lampu lalu lintas berubah hijau.
Detik berikutnya sepasang mata Johnny tidak sengaja bertemu dengan sepasang mata Ten. Keduanya tersenyum malu, Johnny pun melepaskan kedua tangannya dari kendali mobil.
"Bolehkah aku menggenggam tanganmu?" Tanyanya.
Ten terkekeh malu, kemudian menyodorkan tangan kirinya yang langsung digenggam lembut oleh Johnny. Hangat dan aman, Ten merasa nyaman saat Johnny mengusap punggung tangannya.
"Lampunya sudah hijau." Ujar Ten menarik Johnny dari lamunan.
Sontak Johnny pun kembali mengendarai mobil. Bersama tangan Ten di genggamannya. Menyetir santau dengan satu tangan, menggerakan pedal gigi menggunakan tangan kiri saat diperlukan, ia sama sekali tidak melepaskan tangan Ten dari genggamannya.
Beberapa saat kemudian mobil itu terparkir di depan gedung tempat tinggal Ten. Keduanya turun, berjalan menaiki anak tangga satu persatu karena elevator masih juga dalam masa perbaikan karena sempat macet. Johnny memastikan Ten tidak kelelahan tapi sepertinya membawa bayi di dalam perut dan menaiki anak tangga satu persatu merupakan beban yang berat. Apalagi Ten akan berhenti sesekali dirinya merasa lelah.
"Mau mampir dulu?" Tanya Ten setelah keduanya sampai di depan pintu bilik apartemennya.
"Kurasa aku akan langsung pulang, aku tidak ingin mengganggu waktu istirahatmu." Jawab pria tinggi itu, sontak Ten tersenyum simpul. Kenapa setiap perkataan Johnny membuatnya tersipu malu?
"Baiklah."
"Hug?"
Johnny merentangkan kedua tangannya seolah menawarkan diri untuk dipeluk, Ten melangkah maju untuk menenggelamkan diri di pelukan beruang hangat itu. Kepalanya tertanam di dada bidang Johnny, mengirup aroma parfum yang membuatnya terpikat dalam sesaat.
"Selamat beristirahat, Ten."
"Kamu juga." Jawab Ten sambil melepaskan pelukan tersebut. Lalu ia pun berdehem, mengusap perut buncitnya sendiri, "... mau mengucapkan sesuatu kepada aegi? Kamu boleh memegangnya juga."
"Benarkah?"
"Mhm."
Johnny meneguk ludahnya. Tangan kanannya mulai beranjak, mengarah ke arah perut buncit itu dengan ragu. Dalam beberapa saat, Johnny pun menempelkan telapak tangannya di perut Ten, mengusapnya perlahan seiring sesuatu menendang-nendang dari dalam sana.
"You hurt?" Tanya Johnny merasa khawatir karena tendangan halus itu seolah kini terasa begitu kencang. Ten terkekeh, ia rasa Johnny khawatir sekarang.
"Artinya aegi senang. Dia menendang-nendang terus."
"Ah.." Johnny pun tertawa, ia melepaskan tangannya dari perut buncit itu enggan memegangnya terlalu lama, khawatir Ten akan merasa risih ataupun tidak nyaman.
Pria itu lantas memeluk Ten untuk terakhir kali sebelum melambai pergi. Johnny memastikan Ten masuk ke dalam apartemen dan pintu terkunci rapat. Pria tinggi itu berjalan menuruni anak tangga satu persatu menuju basemen, dimana mobilnya berada.
Aroma tubuh Ten yang memikat masih tertinggal di mobilnya. Sepanjang perjalanan Johnny tidak berhenti tersenyum memikirkan sosok itu. Terutama saat Ten mengizinkan Johnny memegang perutnya dan merasakan tendangan halus dari dalam sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
amóre || JohnnyTen
أدب الهواةa•mó•re :// Love Johnny mencintai apapun yang ada di dalam diri Ten. Apapun kondisinya, Johnny tidak peduli. Ten Lee, 26. Dia berpisah dari kekasihnya begitu kehamilannya terungkap, hal itu disusul dengan dirinya yang dipecat dari kantor dimana ia...