amóre. make it count

1.8K 181 3
                                    

Tidak ada jawaban.
Ten tidak memberikan tanggapan apapun. Ia hanya diam di tempatnya, selagi Johnny menghela nafas. Mengucapkan kalimat sepanjang itu membuat Johnny lega, tetapi ia juga takut jika Ten merasa canggung atau tidak nyaman karena hal itu.

Ia pun tetap memberikan kartu berwarna hitam tersebut kepada Ten. Ten menggenggamnya pelan, tangan Johnny terlepas dari dirinya.

"Lupakan apa yang aku ucapkan, beristirahatlah dan ganti pakaian." Johnny membenarkan posisi jasnya lalu melukis senyum simpul, "gunakan kartu itu untuk membeli apapun, tanggal lahirmu adalah pinnya."

Johnny memutar kenop pintu dan keluar dari apartemen studio milik Ten. Ia berdehem sejenak, rasanya ingin segera pergi lalu mengubur diri. Melihat reaksi Ten yang kosong, hampa tanpa jawaban, berhasil membuat Johnny marah pada diri sendiri.

"Dumb ass.." ujarnya lantas menekan tombol di sisi pintu elevator, omong-omong elevatornya sudah rampung diperbaiki. Jadi penghuni gedung bisa menggunakannya tanpa harus merasa lelah menggunakan tangga.

Ting...

"Johnny."

Panggilan itu berpapasan dengan terbukanya pintu elevator. Johnny menoleh ke belakang, mengerutkan kening saat melihat Ten berdiri di dekat pintu bilik apartemennya.

"Ten, ada apa?"

"Kenapa?"

Diremasnya kartu berwarna hitam itu di genggaman tangan. Wajahnya memerah padam, menahan tangis sekaligus sedih.
Kenapa pria super mapan di hadapannya ini menginginkan dirinya? Ten selalu bercermin nyaris setiap hari, memandangi nasib malang yang terus menyerangnya. Ten tidak sesempurna itu, Johnny bisa saja mencari wanita maupun laki-laki yang lebih dari dirinya.

Tapi kenapa?

Kenapa Ten yang harus Johnny pilih?

"Kamu punya segalanya tapi kam-"

Johnny meraih kedua bahu Ten, memandang lurus ke sepasang mata tersebut, "jika kamu bertanya kemapa aku memilihmu, aku tidak ingin menjawabnya. Aku ingin membuktikannya seiring berjalan waktu, bersamamu, bersama aegi."

"But this is not your child...." suaranya bergetar, menunjuk perutnya sendiri.

"Lalu? Apa aku harus hanya menerimamu tapi tidak dengan dia? Apakah aku harus membencinya?" Johnny mengusap surai yang diikat itu, "masuklah, kamu butuh istirahat."

Ten menghela nafas. Ia meremas kedua tangan Johnny yang bertengger di bahu, sangat besar dan keras, Ten ingin menjadikannya pelindung.

"Masuk... Ya?"

Lalu Johnny membuka pintu bilik apartemen, membawa Ten masuk lantas melambai kecil. Ia menutup kembali pintu tersebut memastikan tertutup rapat dan aman. Nafasnya terhembus kesekian kali, ia pun memilih untuk menuruni anak tangga satu persatu karena sepertinya elevator terlihat macet.

Ugh, yang benar saja.


.
.
.
.
.
.



Johnny membuka sepasang kelopak matanya. Langit-langit ruangan terasa begitu jauh dari pandangan, cahaya remang berasal dari lampu di meja kerjanya. Hah, bahkan ia tidak bisa tidur dengan tenang.

amóre || JohnnyTenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang