Johnny tidak melepaskan senyumannya, "Tidak apa, wajar jika melupakan seseorang yang tidak lagi pernah bertemu denganmu."
Tidak ada yang bisa Ten lakukan terkecuali tersenyum kikuk. Di hadapannya adalah seorang calon penerus perusahaan besar, Ten harus tunduk padanya bagaimanapun juga ia adalah atasan. Jabatannya jauh beda dengan jabatan Ten sebelumnya yang hanya seorang karyawan biasa.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Johnny.
"Aku hanya datang melihat-lihat."
"Ah, benarkah?"
Ten mengangguk, "bagaimana denganmu? Apa yang kau lakukan di sini, Johnny-ssi?"
Johnny mengerjap sesaat. Ia pun mengalihkan pandangannya lantas berjalan mendekati kotak-kotak kaca berisi arloji berkilauan yang memanjakan mata. Ten mengikuti langkahnya, "aku ingin membeli arloji, cukup sulit memilihnya karena mereka semua terlihat sangat cantik." Ujar Johnny memandangi deretan arloji itu dengan seksama.
Pria berusia 26 tahun tersebut ikut memandangi arloji yang didesain khusus untuk laki-laki.
"Awalnya aku ingin mengambil yang ini," Johnny menunjuk sebuah arloji yang terpampang seorang diri di sebuah kotak kaca tunggal, "bagaimana menurutmu?"
"Ah.. bagus kok, desainnya lebih sederhana namun terlihat mewah dari yang lain."
"Benarkah?" Johnny berdehem singkat, "baiklah aku ambil ini."
Ten termenung.
Semudah itu? Baiklah, Ten yakin jika Johnny merupakan pria mapan kaya raya. Semahal inipun berani ia ambil tanpa berpikir lagi. Johnny melangkah menuju meja kasir, menyelesaikan transaksi lantas memakai arloji tersebut di pergelangan tangan kiri. Terasa nyaman dan cocok untuk pria karir sepertinya.Ten merasa ia tidak memiliki urusan lagi di sini. Ia pun berbalik, hendak berjalan keluar toko.
"Ten!" Panggil Johnny lagi lalu berjalan cepat mendekati Ten, "Bagaimana jika kita pergi ke kafe dan mengobrol sedikit?" Keduanya saling berhadapan, Ten mengepalkan kedua tangannya karena mendadak gugup.
"Bukankah kau harus bekerja, Johnny-ssi?"
"Tidak juga?"
Alhasil keduanya tiba di sebuah kafe. Kafe dengan nuansa minimalis dengan warna coklat, krem, dan putih. Beberapa tumbuhan terlihat segar di beberapa sudut, pengunjungnya tidak begitu ramai hari ini.
Johnny memesan kopi latte, dan Ten memilih untuk memesan cappucino dengan seiris kue. Mereka duduk berhadapan, sempat bingung harus membicarakan apa jika Johnny tidak memulai.
"Jadi, bagaimana pekerjaanmu?" Tanyanya.
"Aku dipecat."
Johnny dengan cepat mengerutkan kening, "dipecat?"
"Ya, lagipula kontrak kerjaku akan habis jadi... yah kau tahu... hehe."
"Sayang sekali, lalu sekarang?"
Ten menunduk, meremas kedua tangannya pelan. Haruskah ia mengatakannya? Bagaimana jika ia kelewat batas menceritakan kehidupan pahitnya kepada orang asing yang baru ia temui sebanyak dua kali?
"Tidak apa, lupakan saja." Johnny menyesap kopinya, "minumlah, kau mau kue lagi?"
"Tidak, sudah cukup."
Mereka banyak berbincang mengenai hal-hal di luar pribadi. Seperti kegiatan yang dilakukan akhir-akhir ini, makanan dan minuman kesukaan, bahkan film favorit. Hingga Johnny menceritakan tentang dirinya yang baru kembali dari Amerika Serikat setelah 2 tahun tinggal di sana. Pantas saja Ten tidak pernah melihatnya datang ke kantor untuk menghadiri pertemuan, hanya sekali saja saat tahun pertama Ten mulai bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
amóre || JohnnyTen
Fanfictiona•mó•re :// Love Johnny mencintai apapun yang ada di dalam diri Ten. Apapun kondisinya, Johnny tidak peduli. Ten Lee, 26. Dia berpisah dari kekasihnya begitu kehamilannya terungkap, hal itu disusul dengan dirinya yang dipecat dari kantor dimana ia...