"Aku pulang."
Johnny berujar saat ia melangkah masuk ke dalam rumahnya. Ia membuka jasnya sambil berjalan menuju ruang tengah, namun ia tidak mendapatkan siapapun. Ten tidak ada di sini.
Alhasil Johnny beralih ke kamar utama. Memegang kenop pintu lantas mendorongnya perlahan, udara sejuk langsung menyambutnya. Di luar sudah mulai gelap, jendela kamarnya hanya ditutupi oleh setengah tirai, cahaya remang berasal dari lampu tidur.
Johnny pikir, Ten pergi begitu saja.
Namun nyatanya, laki-laki bersurai hitam itu masih setia menunggu kedatangannya dari kantor, duduk tenang di atas ranjang sambil memandangi keluar jendela."Ten." Panggil Johnny penuh kelegaan, ia duduk di pinggiran kasur lalu meraih salah satu kaki Ten, "aku pulang."
Ten hanya melukis senyum kecil lalu mengalihkan pandangannya ke arah Johnny. Sepasang iris berwarna coklat tua itu seolah berhasil menembus ke dalam diri Ten, Ten meneguk ludahnya kasar kemudian memilih untuk menunduk.
Melihat gerak-gerik Ten yang sedikit aneh, Johnny yakin bahwa sesuatu telah terjadi. Sesuatu yang mungkin akan membuat keduanya beradu mulut. Namun, Johnny tidak ingin segala sesuatunya berubah rumit, ia akan berbicara kepada Ten setenang mungkin.
"Kamu sudah makan?" Tanya Johnny, pertanyaan sederhana yang membuat Ten merasa sangat disayang dan dilindungi.
"Mau menjelaskan sesuatu?" Ten memberanikan diri membuka mulutnya, suaranya yang tenang pun membuat Johnny mengerjap pelan. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya.
Terjadi keheningan beberapa saat. Johnny pun meraih sebelah tangan Ten lalu memeganginya dengan sangat lembut, mengusap punggung tangan dengan urat-urat samar yang menghiasi.
"Dia datang?"
Ten mengangguk, "ya."
Johnny tersenyum simpul, "Kurasa kamu tidak perlu tahu siapa namanya, aku hanya akan menceritakan sedikit untuk meyakinkan dirimu bahwa semua ini hanyalah omong kosong."
"Entahlah, aku terlalu bodoh karena terlambat menyadari bahwa hidupku sejauh ini diatur oleh orang tua. Kamu tahu, aku anak tunggal dari keluarga Seo. Mereka ingin aku sukses, dan selalu menjadi nomor satu di antara generasi penerus yang lain, sepupu-sepupuku contohnya. Aku dijodohkan dengan perempuan itu, perempuan yang selalu menganggu kehidupanku. Aku tidak tertarik padanya, sama sekali tidak."
"Jika kamu berpikir bahwa aku dan perempuan itu sudah berjalan terlalu jauh, kamu salah, Ten. Bahkan aku tidak menyimpan kontaknya di ponselku, aku selalu menghindar saat pertemuan makan bersama, aku tidak pernah ingin melihat wajahnya." Johnny meraih sebelah tangan Ten yang satu lagi, memegang keduanya cukup erat, "aku tidak memintamu untuk percaya padaku, aku hanya ingin kamu mengetahui semuanya. Maaf jika aku tidak membicarakan hal ini sejak awal."
Ten terdiam mendengarnya.
Ia percaya, ia sangat percaya kepada pria di depannya ini. Apakah salah jika Ten merasa senang karena hubungan Johnny dan perempuan itu hanyalah hubungan semata?"Kalian sudah bertunangan?"
Johnny tertawa pelan, "perempuan itu benar-benar gila. Look, tidak ada cincin maupun pertunangan. Aku tidak pernah melakukannya, Ten."
Ten pun mengangguk mengerti. Yah, mungkin Johnny menyembunyikannya entah dimana. Tidak, Ten percaya jika Johnny tidak melakukannya.
"Baiklah.."
"You trust me?" Ten menganggu pelan, membalas genggaman tangan Johnny yang terasa lebih besar darinya, "can I hug you now, love?"
Tubuh Ten direngkuh lembut. Pria matang itu mengistirahatkan keningnya di bahu yang lebih kecil, memberikan usapan pelan di punggung. Ten, Ten, Ten, sangat indah dan sempurna. Apa lagi yang bisa Johnny berikan demi membahagiakan manusia indah yang satu ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
amóre || JohnnyTen
Fiksi Penggemara•mó•re :// Love Johnny mencintai apapun yang ada di dalam diri Ten. Apapun kondisinya, Johnny tidak peduli. Ten Lee, 26. Dia berpisah dari kekasihnya begitu kehamilannya terungkap, hal itu disusul dengan dirinya yang dipecat dari kantor dimana ia...