"Aku akan pulang jam 6 sore."
Johnny melirik ke arah arloji di pergelangan tangannya selagi Ten membenarkan posisi dasi di kerah kemeja berwarna putih itu. Ten mengangguk, menyerahkan jas biru tua milik Johnny kemudian langsung diterima oleh pria mapan itu.
"Terima kasih untuk sarapannya," Johnny mendekat, memberikan kecupan halus di pipi kekasihnya, "aku pergi, love."
"Kamu yakin tidak ingin membawa bekal untuk makan siang?" Tanya Ten.
"Aku akan makan siang bersama yang lain, jangan khawatir."
"Baiklah."
Tidak lupa memberi usapan di perut Ten, Johnny melambai singkat lalu keluar dari tempat tinggalnya. Ten masih berdiri di lorong pintu masuk, rasanya... mereka seperti pasangan yang baru menikah. Sangat manis dan seolah melengkapi satu sama lain.
Mungkin ia akan menghabiskan waktu di sini, menunggu Johnny pulang sore menjelang malam nanti. Johnny memintanya untuk menginap lagi, dengan alasan Johnny kesepian jika harus berada di rumah seorang diri. Baiklah, selagi Ten menyanggupinya dan Johnny memberikan semua fasilitasnya, Ten menyetujui hal itu.
Seperti biasa, Johnny menjalankan aktivitas di kantor sambil menunggu jam pulang. Menyelesaikan berkas-berkas yang menumpuk, ditemani keheningan di kantor pribadi.
Sesekali membuka ponselnya, memandangi profil kontak milik Ten yang membuatnya semakin semangat bekerja.Ten.
Johnny seolah sudah menyiapkan segalanya. Ia sudah memantapkan diri untuk menikahi Ten di waktu yang tepat. Johnny tidak segan menyiapkan kebutuhan Ten untuk masa tua nanti, seperti tabungan atau asuransi atas nama kekasihnya sendiri. Selain itu, Johnny juga menyiapkan tabungan masa depan untuk buah hati mereka nanti, terutama bayi yang ada di dalam kandungan Ten.
Ia ingin membesarkan bayi itu dengan cinta, memberikan pendidikan terbaik namun ia juga ingin membiarkan bayi itu menentukan pilihan hidupnya sendiri nanti.Entahlah, Johnny sangat ingin melakukannya. Membangun keluarga kecil yang bahagia, bekerja dari pagi hingga malam demi keluarganya. Berangkat untuk bekerja, dan pulang untuk orang tercintanya.
"Aku sudah gila." Johnny menyender pada punggung kursinya lalu menghela nafas panjang. Memejamkan mata sambil menenangkan pikiran.
Ten.
Wajah cantik dengan hidung mancung itu selalu menghantui kepalanya. Apakah Johnny sudah segila ini?
Ponselnya berdering menandakan ada panggilan masuk. Jung Jaehyun, kolega sekaligus temannya menelpon. Johnny pun menepati janjinya yang akan ikut makan siang bersama Jaehyun juga Doyoung.
Lagi dan lagi, Jaehyun dan Doyoung seolah kepo dengan sosok pasangan yang membuat Johnny tergila-gila. Johnny membicarakan Ten tanpa henti, yah begitulah. Jaehyun pikir, Johnny benar-benar rela mati demi kekasih rahasianya itu.
"Bagaimana dengan orang tuamu?" Tanya Jaehyun, membuat Johnny yang sedang mengunyah pun langsung berubah diam. Raut wajahnya berbeda seolah ada sesuatu yang mengganjal.
"Secepatnya aku akan mengatakan hal ini." Ujar Johnny.
"Apakah mereka akan menerimanya?"
"Menerima atau tidak, itu urusan mereka. Aku tidak meminta persetujuan mereka, bukankah begitu?"
.
.
.
.
.
.Setelah makan siang, Johnny kembali ke kantornya. Seperti biasa, menyapa para pekerja yang tak sengaja berpapasan dengannya. Menuang citra atasan yang ramah dan baik hati tanpa pandang bulu, sehingga para bawahannya tidak segan menyapanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
amóre || JohnnyTen
Fanfictiona•mó•re :// Love Johnny mencintai apapun yang ada di dalam diri Ten. Apapun kondisinya, Johnny tidak peduli. Ten Lee, 26. Dia berpisah dari kekasihnya begitu kehamilannya terungkap, hal itu disusul dengan dirinya yang dipecat dari kantor dimana ia...