Weekend telah berakhir. Alvia menata buku pelajaran untuk hari senin besok. Weekend hari ini, full ia gunakan untuk family time. Menghabiskan waktu bersama kedua orangtuanya sembari menonton tv lalu menceritakan kegiatan saat di sekolah. Sekitar jam enam sore tadi, mereka baru saja pulang selepas makan bersama di salah satu restoran.
Alvia sendiri anak tunggal di keluarganya. Ibunya—Leni—mengalami kecelakaan saat dia masih kecil dan menyebabkan dia tak bisa untuk hamil lagi. Dulu, saat Alvia masih kecil, dia selalu merasa iri melihat dan mendengarkan teman-temannya bercerita tentang adik mereka.
Adik mereka yang lucu, yang bisa diajak bermain juga mereka yang bisa menjadi kakak untuk adik mereka. Alvia pada waktu itu merengek dan mengadu pada sang ibu jika dia menginginkan adik. Berikan satu saja adik untuk Alvia, rengek Alvia kecil.
Namun, setelah mengatakan hal itu, Leni meneteskan air mata sembari menatap sayang pada Alvia serta mengucapkan kata maaf. "Maafin mama, ya, sayang." Terus seperti itu dan tetesan air mata itu berubah menjadi tangisan hebat yang membuat Alvia kecil memeluk ibunya tiba-tiba. Beranjak dewasa, Alvia mengerti dan memahami jika dia sendiri yang ada di keluarga ini.
Hanya dirinya seorang yang setidaknya harus bisa membanggakan kedua orangtuanya lewat prestasi-prestasi yang ada di sekolah.
Alvia yang mengingat itu menghela napas sesaat. Cepat-cepat gadis itu membawa semua mata pelajaran untuk besok juga ponsel ke ruang keluarga. Mungkin, ia butuh suasana baru untuk belajar.
"Vi? Tumben belajar di sini?" Leni menegakkan tubuh tatkala melihat putrinya memboyong buku-buku pelajarannya ke ruang keluarga.
Leni menatap gerak-gerik Alvia yang kini menaruh buku-buku juga handphone di meja kemudian gadis itu duduk tepat di depannya—tepatnya Alvia duduk di bawah beralaskan karpet berbulu.
Dengan kaki bersila, Alvia menata surai rambut. Mengikatnya menjadi satu kemudian memutar tubuhnya sebentar menghadap ke belakang. Mengarah ke ibunya.
"Via lagi pengen belajar di sini." Setelah itu, Alvia kembali menghadap tumpukan buku. Mengambil buku Sejarah, mengingat besok akan diadakan tanya jawab oleh guru mereka.
"Ini selain tanya jawab besok ada pr nggak, ya?" Alvia berujar monolog.
Satu tangan meraih handphone, mencari grup kelas untuk menanyakan perihal adakah pr untuk besok, tetapi setelah menggulirnya ke bawah dan atas, ia tak menemukan grup kelasnya sama sekali.
Kening gadis itu sampai mengerut, apakah dia dikeluarkan dengan teman kelasnya yang usil.
Jari-jemarinya dengan cepat mencari kontak Liana. Mengirim pesan kenapa ia tak menemukan grup kelasnya.
Alvia
Liiiii nama grup kelas masih tetep kan? 12 IPS-2 LULUS?Jari-jemarinya mengetuk-ngetuk sisi ponselnya menunggu balasan Liana. Bunyi notifikasi ponselnya langsung dia buka.
Liana
Diganti, kan sama Fatah. Diganti kelap-kelip kalau nggak salah.Detik itu juga Alvia terbahak keras sampai Leni yang di belakang tersentak kaget. "Kamu ngapain!" seru Leni terkejut.
Masih dengan terbahak, Alvia menjawab dengan terputus-putus. "Enggak, Ma. Ini aku lagi chat sama Liana, tanya grup kelas." Alvia menjawab di sela-sela tawanya.
Cepat-cepat dia meredakan tawanya, jemarinya mencoba mengetik kelap-kelip seperti yang dibalas oleh Liana dan benar saja, Alvia menemukan kelap-kelip di WhatsApp -nya.
Tawanya kembali terdengar hingga ponselnya terlepas dari tangan. Leni yang di sana penasaran ada apakah gerangan sampai tertawa terbahak seperti itu.
Tawa Alvia masih terdengar, ia mengambil ponsel dan mengklik nama kelap-kelip yang terdapat hampir lima puluh lebih pesan di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Tapi Mesra
Teen Fiction[CERITA INI DIIKUTKAN DALAM EVENT GREAT AUTHOR FORUM SSP X NEBULA PUBLISHER] "Jangan membenci seseorang terlalu dalam. Soal perasaan nggak ada yang tau ke depannya akan gimana. Awas nanti bisa berubah jadi cinta lho!" Mungkin kalimat itu sudah serin...