Bagian 23: AFFAIR

1 1 0
                                    

Matahari telah pulang, menyelesaikan tugasnya dengan baik dan bergantian dengan malam. Sepertinya malam kali ini cukup peka dengan atmosfer bumi yang sedang gundah gulana, bagi keluarga yang sedang menunggu sebuah pintu terbuka, menunggu kabar seorang gadis, menunggu informasi dari dokter, dan menunggu kepulangan sang kepala keluarga.

Langit malam meneteskan peluhnya seolah pertanda bahwa langit pun punya titik lelahnya. Satu jam telah berlalu dan hujan tak kunjung reda. Begitu juga dengan sang kepala keluarga yang tak kunjung datang.

Dengan tubuh yang basah kuyup, seragam kerja tak beraturan, rambut berantakan, seorang pria dengan nametag Wijaya berjalan seperti mayat hidup.

Tubuhnya ambruk ke lantai tepat setelah sampai di depan pintu ruang operasi. Saraf di dalam tubuhnya seolah mati, darahnya membeku, serta persendiannya terasa kaku. Namun dibalik itu jantungnya berdetak melebihi batas normal, takikardia.

Sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertanya, bukan waktu yang tepat untuk memborbardir segala tanda tanya yang terperangkap dalam otak Valen. Karena wanita itu sendiri telah tau jawabannya, hanya butuh jawaban langsung yang keluar dari mulut suaminya.

Kedua mata sepasang suami-istri itu bertemu, saling bertatapan beberapa detik sebelum Valen melepaskan kontak mata mereka.

Wijaya berjalan menghampiri putranya yang tengah tidur dalam pelukan mama Valen. "Eksha..." panggilnya dengan lembut.

Eksha membuka mata dan langsung memeluk papanya.

"Papa darimana aja?" tanyanya dengan polos.

"Suatu tempat---" jedanya sebentar sebelum melanjutkan, "kamu pulang sama Mama, ya? Istirahat di rumah untuk malam ini. Besok pagi bisa datang lagi ke sini."

"Papa nggak ikut pulang?"

Wijaya tersenyum, "Papa jagain kakak di sini."

"Sen, bisa tolong antar mereka pulang?" tanya Wijaya kepada Arsen yang bersandar pada dinding rumah sakit.

"Bisa Om."

Suasana dalam mobil sepi, tidak ada yang berbicara sama sekali. Kesedihan membungkus setiap mata yang terbuka, menutup setiap mulut untuk berbicara, mencekik setiap leher sampai rasanya sesak untuk bernapas.

Mobil Arsen berhenti di depan perumahan milik keluarga Wijaya. Mama Valen tersentak dalam lamunannya ketika menyadari bahwa mobil telah sampai pada tujuan.

Arsen turun lebih dulu lalu menggendong Eksha karena anak itu tidur sejak dalam perjalanan. Setelah merebahkan tubuh anak sepuluh tahun itu Arsen izin untuk pamit.

Namun sebelum itu, "Terima kasih, Sen. Tapi Tante boleh minta tolong sekali lagi?"

"Boleh, apa Tan?"

"Jagain Eksha sebentar, ya? Tante mau balik ke rumah sakit buat antar bajunya papa. Takut masuk angin pakai seragam basah kaya tadi."

"Kalau boleh, biar Arsen aja yang anterin, Tan. Kebetulan Arsen juga mau balik ke rumah sakit. Arsen mau temenin Om Wijaya."

"Nggak apa-apa, Sen?"

"Nggak, Tante." Jawab Arsen dengan tersenyum tulus. Pemuda itu, kalau boleh jujur, ia juga lelah. Raganya butuh istirahat, tapi jiwanya memilih untuk kembali ke bangunan serba putih itu.

Setengah jiwanya tengah berjuang untuk bertahan hidup.

***

"Ini baju dari tante Valen buat Om. Sekarang Om ganti baju dulu biar Arsen yang tunggu di sini. Nanti kalau dokter keluar, Arsen akan segera telepon Om." Bujuk Arsen yang ketiga kalinya.

My Soul, KaramelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang