Selepas kepergian Eksha, Kara dan Wijaya masuk ke dalam ruangan seorang dokter. Sebut saja dokter Hanaya. Dokter cantik yang telah membantu Kara untuk hidup selama ini. Dokter Hanaya ini merupakan dokter spesialis jantung.
Ada satu orang lagi yang berperan penting dalam penyembuhan mental Kara, yaitu Clara. Ia bukan seorang dokter, melainkan Psikiater.
"Hallo, selamat sore," sapa dokter Hanaya saat Kara dan Wijaya masuk setelah mengetuk pintu.
"Sore juga, dok," sapa Kara balik.
"Silakan duduk." Dokter Hanaya mempersilakan untuk duduk.
"Karamela apa kabar?"
"Baik, dok. Sekarang udah lebih baik dari sebelumnya," jawab Kara jujur.
"Bagus kalau begitu. Sekarang berbaring dulu ya biar Ibu periksa." Kara mengangguk lalu berbaring di atas brankar untuk diperiksa.
"Apa ada keluhan selama beberapa hari belakangan, Karamela?" tanya dokter Hanaya.
"Sebenarnya udah lebih baik. Tapi terkadang masih suka sesak napas kalau lagi panik atau buru-buru," jelas Kara jujur.
"Itu wajar, ada keluhan lain? Henti jantung masih sering terjadi?"
"Enggak, dok. Aku merasa sekarang udah jauh lebih baik."
"Mungkin karena pengurangan obat ya, dok? Obat dari psikiater sekarang berkurang." Lanjut Kara menjelaskan.
"Iya itu bisa saja mempengaruhi. Lebih sering menjalankan terapi daripada konsumsi obat-obatan, ya. Jantung kamu butuh rehat dari obat-obatan." Jelas dokter Hanaya.
Kara mengangguk. Dokter Hanaya bertatapan dengan Wijaya. Menyaratkan akan sesuatu.
"Apa pemeriksaan untuk hari ini sudah selesai, dokter?" tanya Wijaya.
Dokter Hanaya mengangguk lalu tersenyum. Wijaya meminta Kara untuk menjemput adiknya di kantin. Selepas kepergian Kara dari ruangan Dokter Hanaya, sang dokter dan Wijaya membahas beberapa hal penting yang harus dokter itu sampaikan.
***
Di kantin Rumah Sakit ada dua anak manusia berbeda gender yang sedang mengobrol serius. Mereka Eksha dan Yolana.
"Kakak kamu sakit lagi, Sha?" tanya gadis kecil itu.
"Kakak emang masih sakit, Yola. Sekarang lagi periksa." Jawab Eksha sedikit menampakkan wajah sedihnya.
"Kamu sedih ya kalau kakak kamu sakit?"
"Iya. Aku sedih banget. Aku sayang kakak. Kapan ya kakak aku sembuh," ucapnya penuh kesedihan.
Yolana duduk mendekat lalu mengusap punggung Eksha. "Sabar ya, Sha. Kakak kamu pasti sembuh kok. Kakak Kara kan kuat." Balas Yolana menenangkan Eksha.
"Janji ya, Yola. Kalau kamu nggak akan cerita ke siapa siapa kalau aku cerita banyak tentang kakak aku ke kamu,"
"Iya aku janji." Keduanya saling menautkan jari kelingking kecil mereka.
"Buset pada sedih-sedih amat mukanya. Kenapa nih?" tanya Kara saat ia sampai.
"Nggak kenapa-kenapa kok, Kak. Eksha habis cerita mimpinya tadi. Katanya habis mimpi buruk." Jawab Yolana. Gadis kecil itu terpaksa berbohong.
"Wah, parah! Kamu sama Kakak nggak mau cerita apa-apa. Giliran sama gadis cantik mau cerita tentang mimpi kamu. Tidak pantas untuk dicontoh." Jawab Kara dengan melebih-lebihkan ucapannya.
"Lebay." Sahut Eksha.
"Yola, ibu kamu masih jual bubu ayam?" tanya Kara dengan lembut.
"Masih Kak. Kakak mau bubur ayam?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Soul, Karamela
Fiksi RemajaSempurna itu tidak pernah ada. Jika itu ada, mungkin hanya judul sebuah lagu. Sejauh manapun kamu mencari kehidupan yang sempurna, kamu tidak akan menemukannya. Carilah kehidupan yang mampu membuatmu merasa utuh. Bagi seorang Karamela Nareen Calasy...