I. Prolog

157 37 2
                                    

Happy reading...

•••

Tahun ini, aku akhirnya berhasil melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi di Jepang. Sekarang, aku sedang menjelajahi daratan di pinggiran sungai, tempat favoritku untuk membaca buku di Negeri Sakura ini. Suasananya tenang dan menyegarkan, dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu tubuhku, membuat suasana semakin nyaman. Tempat ini sangat cocok untuk membaca buku sambil mendengarkan alunan musik. Rasanya seperti menemukan surga kecil di tengah hiruk-pikuk kehidupan.

Kebetulan, aku tiba di Jepang tepat saat musim semi. Untuk pertama kalinya, aku bisa melihat langsung bunga sakura yang mekar dengan sangat indah. Aku sangat bersyukur bisa menikmati keindahan ini sambil membaca novel favoritku, My Life's Way. Setelah beberapa saat tenggelam dalam halaman-halaman buku, aku mengangkat kepala dan membiarkan mataku tertuju pada langit yang terbentang luas.

Namun, keindahan langit itu seakan terkabur oleh sosok yang sangat kukasihi, yang tiba-tiba memenuhi pikiranku. Sorot matanya menenangkan namun juga dingin, seperti hembusan angin malam yang penuh misteri. Warna matanya menyerupai langit senja, memancarkan kelembutan yang menawan. Senyumannya bersinar seperti langit biru yang jernih di pagi hari, menyinari hariku dengan kebahagiaan. Kulitnya tampak lembut seperti awan putih. Setiap helaian rambutnya tersapu oleh angin, hatiku bergetar karena terikat keindahannya.

Saat pertama kali bertemu dengannya, aku segera terpana, dan seolah bertanya-tanya, "Apakah sekarang ada yang bisa menandingi keindahan langit?"

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menyadari bahwa ada seorang manusia yang mampu mengungguli keindahan segala rupa langit di dunia ini. Tanpa kusadari, hatiku telah ditaklukkannya pada pandangan pertama.

Teman-temanku sering mengatakan bahwa aku membuat keputusan yang salah dengan mencintainya, karena mencintainya seperti memasukkan diriku sendiri ke dalam penderitaan tidak berujung. Meskipun mereka meyakinkanku bahwa mencintainya adalah penderitaan tanpa akhir, tapi anehnya, aku tak pernah merasa membencinya. Bahkan, tidak pernah terlintas di benakku untuk menyalahkan dirinya atas segala penderitaan yang kualami.

Sejak awal bertemu dengannya hingga saat ini, aku tetap teguh dalam keyakinanku dan tak pernah merasa menyesal mencintainya. Mungkin orang-orang akan bertanya, apa artinya bagiku untuk menunggu, jika hanya ketidakpastian berujung pada kenyataan pahit yang sedang menantiku.

Iya, aku tahu.

Aku juga bertanya-tanya pada diriku sendiri, dan aku yang paling mengerti semua itu. Bahkan, terus saja aku mempertanyakan kemana perginya semua janji yang pernah dia buat bersamaku.

Seperti...

Bukankah kamu telah berjanji menjadi langit yang dapat kugapai untuk selamanya? Tapi hatiku tidak bisa berbohong, aku akan menunggumu hingga akhir hidupku, Sky.

My Beautiful SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang