III. Tatapan Sialan

101 33 0
                                    

Happy reading>\\\<♡

•••

Bel istirahat berbunyi, yang menandakan sudah waktunya anak murid di sekolah ini menikmati waktu istirahatnya. Aku pun mengeluarkan kotak makan kesayanganku yang berada di dalam tentengan biru.

"Kamu bawa apa, Lis?" tanya Tara.

Mendengar itu, aku reflek melirik Tara. "Aku bawa cumi tumis, kamu mau?" tawarku.

"Mau," jawab Tara sambil mengulurkan tempat makannya yang sudah terbuka.

Aku pun memberikan beberapa cumi tumis ke dalam bekal Tara.

"Terima kasih, Lis," ucap Tara dengan senyuman senang.

"Sama-sama," jawabku dengan santai.

Kemudian, Tara mencicipi cumi tumis tersebut dan berkata, "Umm, enakk banget, Lis. Masakan Mama lo emang gak ada lawan."

"Hehe, iya dong," ucapku dengan seringai kecil.

Aku memakan bekalku dengan lahap, namun tetap rapih dan tidak berantakan. Setelah selesai memakan habis makananku, aku pun menutup kembali kotak makanku, dan memasukkannya ke dalam tentengan biru.

"Puji Tuhan kenyang," ucapku mengucap syukur.

Perutku terisi kembali, dan energi-ku pun terisi kembali. Jujur saja sekarang aku ingin menoleh ke kiri, aku penasaran dengan apa yang sedang dilakukan anak baru itu di jam istirahat. Soalnya daritadi aku terlalu fokus untuk makan, jadi tidak terlalu memperhatikan sekitar.

Tapi entah mengapa, aku jadi takut untuk menoleh. Rasanya seperti di film-film horror. Akhirnya, aku memutuskan untuk berpura-pura pergi ke toilet. Jika aku keluar dari kursiku sekarang, aku harus berdiri dan keluar dari arah kiri, yang berarti arah pandanganku harus mengarah ke kiri.

'Hehe, markicob,' gumamku, kegirangan dalam hati.

*Markicob: Mari kita coba.

"Ra, aku ke toilet dulu ya, mau cuci tangan," celetukku.

"Oh, kalo gitu, gua ikut juga, Lis, kebelet nih," timpal Tara.

"Pen boker lo ya?" godaku dengan senyum jahil.

"Ngaco, gua mau buang air kecil," ucap Tara dengan tegas, matanya menyipit padaku.

"Hehe, kirain. Santai aja kali, lagian boker kan sehat," balasku dengan cengiran kecil, berusaha menawan tawa.

Aku pun beranjak dari kursiku. Dengan santai, aku langsung melancarkan rencanaku, mengarahkan badan dan pandanganku ke meja si anak baru, seolah-olah itu adalah hal yang paling alami di dunia. Orang-orang pasti tidak akan menyadari bahwa niatku sebenarnya adalah mencuri pandang. Lagipula, aku kan cuma ingin keluar dari himpitan kursi dan mejaku.

Lagian, siapa yang bakal sadar kalau aku sebenarnya mencuri pandang?

Dalam sekejap, mataku benar-benar terpaku padanya. Kali ini, dia sedang tertidur pulas dengan kedua tangan disilangkan di depan dadanya. Kepalanya yang tertunduk membuat helaian poninya menjulur ke bawah. Poninya tidak terlalu panjang, jadi aku rasa guru tidak akan menyuruhnya untuk memotongnya.

Aneh, mengapa wajahnya yang tertidur terlihat begitu tenang, seakan-akan tidak ada beban hidup sama sekali. Melihatnya tertidur seperti ini, aku merasa perjuanganku benar-benar sia-sia. Tapi, mungkin ini tidak sepenuhnya sia-sia.

Mungkin, lihat sebentar lagi boleh? Aku masih ingin memandangi wajahnya yang tertidur pulas.

'Aaakh aku sudah gila,' gumamku dalam hati.

My Beautiful SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang