XI. Hukuman Mama

43 19 0
                                    

Happy reading^^♡

•••

Hari ini sekolahku libur karena ada rapat tahunan yang selalu diadakan di bulan Januari dan Desember oleh semua guru di sekolahku. Dari pengetahuanku, di bulan Januari, para guru dari jenjang SD hingga SMA akan membahas kegiatan dan program-program yang akan dilaksanakan setahun kedepan. Kemudian, di bulan Desember, mereka akan mengevaluasi semua kegiatan dan program yang telah dilaksanakan maupun yang tidak jadi dilaksanakan.

Jadi, tidak heran pihak sekolah meliburkan para murid hari ini. Kebetulan, hari ini adalah hari Jumat. Hari yang paling cocok digunakan sebagai hari libur.

Aku bergadang hingga jam dua subuh dan kemudian tertidur hingga jam lima subuh. Pada jam lima subuh, aku terbangun, mencoba untuk memejamkan mata lagi, namun sia-sia. Dengan mata yang terasa sedikit lelah, aku memutuskan untuk bangun dari tempat tidurku.

Berjalan ke sana ke mari tanpa tujuan yang jelas, hanya mengitari sekeliling kamar. Beberapa menit kemudian, tubuhku ingin menyatu kembali dengan tempat tidur. Aku naik ke atas kasur lagi, membenamkan diri di bawah selimut, dan memeluk erat bantal gulingku. Setelah melakukan semua itu, akhirnya aku berhasil kembali terlelap.

"ELISABET, BANGUN!" teriak Mama yang bisa menggemparkan satu komplek.

Aku yang sedang bermimpi indah, terbangun. Langsung beranjak dari tempat tidur, dan merapihkan tempat tidur. Dengan sedikit sempoyongan, memaksa diriku untuk langsung mandi. Selesai mandi, aku pun mendapatkan nyawaku kembali.

Aku berjalan ke arah Handphoneku berada. Dengan senyuman pasrah, aku melihat jam. "Haah.. sudah tengah hari. Inimah, aku akan dibantai oleh Mama." Setelah mengucapkan itu, aku langsung berganti baju, dan menyiapkan mental.

Menuruni tangga dengan muka pura-pura polos. Aku tahu di mata adikku, aku akan terlihat seperti orang bego, bukannya polos. Dengan keberanian yang sudah terkumpul, aku menghampiri Mama yang tengah menyuci piring dengan daster favoritnya.

"Mah-"

"Elisabet, kamu tidur jam berapa?" potong Mama, melirik ke arahku.

"Ehm.. sebelum tengah malam kok, Mah," jawabku dengan sedikit keraguan.

Tentu saja dengan feeling Mama yang begitu kuat, dia sudah mengetahui bahwa aku berbohong. Dia terlihat sudah siap untuk menghukumku. Aku dapat melihat itu semua dari senyuman mematikannya.

"Elisabet, dengarkan Mama. Sekarang, pergi makan siang. Setelah itu, jangan lupa untuk mencuci piringmu. Kemudian, yang terakhir, pergi ke rumah Pak Lewis dan tanyakan tentang dress putih yang Mama minta jahitkan," ucap Mama yang membuatku sedikit terkejut.

"Pak Lewis? Dia tinggal di mana?" tanyaku.

"Tidak jauh dari sini. Ini alamatnya," jawab Mama sambil memberiku kertas kecil berisi alamat.

Pak Lewis - Anggrek Pertama Blok E8/No.8

"Apakah dress putih itu sudah selesai dijahit?" tanyaku penasaran.

"Sudah. Kamu hanya perlu tanyakan, apakah dress itu sudah bisa diambil. Sebenarnya, Mama bisa saja tanyakan lewat Chatapp. Tapi, ini sebagai hukumanmu, dan jika dress itu bisa langsung diambil, Mama tidak perlu repot-repot untuk mengambilnya sendiri." Mama tersenyum puas.

Aku pun menghela nafas panjang. Mengambil jaket yang tergantung di Ruang Tamu. Mama melirikku dengan tatapan bingung. "Loh, kok kamu udah ambil jaket? Kan Mama udah bilang, makan dulu." Mama mulai memasang tatapan marah. "Maaf mah, aku lagi gak nafsu. Lebih baik, aku lakukan hukumanku dulu. Siapa tahu nafsu makanku muncul kembali." Aku menjawab ucapan Mama, dan dengan cepat keluar dari rumah, menyisakan suara pintu yang tertutup.

Aku menoleh ke atas. Memandang langit yang terlihat sangat gelap. Ini baru tengah hari, mengapa begitu gelap? Seharusnya, matahari bersinar begitu terang. Jika seperti ini, berarti sebentar lagi akan turun hujan.

Suara gemuruh petir mulai terdengar saat aku terus berjalan mencari rumah Pak Lewis. Hujan rintik mulai menghiasi langkahku, menambah kegelapan di sekitar. Setelah beberapa langkah, akhirnya aku menemukan rumah Pak Lewis. Saat itu juga, hujan deras turun membasahi sebagian tubuhku, dan dengan cepat aku berusaha untuk berlindung di bawah atap rumah Pak Lewis.

Aku memencet bel rumah Pak Lewis sebanyak tiga kali, namun tidak ada respons sama sekali. "Permisi, Pak Lewis." Aku mencoba untuk memanggil dari luar pagar yang terbuat dari Stainless Steal. Aku memencet bel lagi sebanyak tiga kali. Sekarang, aku sudah enam kali memencet bel.

Ketika aku hampir menyerah, tiba-tiba pintu rumah Pak Lewis terbuka. Aku yang sudah agak basah, memasang wajah yang sedikit berbinar. Namun, wajah yang berbinar itu tidak bertahan lama karena yang keluar dari pintu bukanlah seorang bapak-bapak.

'Kenapa yang keluar malah dia?' gumamku dalam hati.

Mataku tidak mungkin salah lihat. Itu sudah pasti Kaeli. Anak laki-laki yang seumuran denganku, bahkan satu sekolah denganku. Aku saling bertukar nama saat piknik di taman dekat rumah.

"Woy, masuk! Malah bengong." Dia berseru menyuruhku untuk masuk.

'YA BUKA PAGARNYA WOY!' gumamku kesal dalam hati."

Aku menghela nafas. "Pagarnya?" tanyaku sebagai kode untuk membukakan pagar. Namun, dia tetap berdiri dengan santai di depan pintu rumah Pak Lewis yang terbuka. "Buka saja, itu tidak dikunci." Dia berseru menyuruhku untuk membuka sendiri.

Aku tidak membalas perkataannya, hanya memasang wajah sedikit kesal. Aku berfikir, apakah mata anak laki-laki bernama Kaeli ini tidak berfungsi? Bukankah seharusnya dia peka saat melihat seorang perempuan berdiri di depan pagar dan terkena hujan yang sangat deras? Tapi, aku hanya bisa menerima kenyataan bahwa Kaeli sama sekali tidak peduli.

Dengan wajah murung, aku membuka pagar yang terbuat dari Stainless Steal asli. Lalu, tidak lama kemudian Kaeli menyeletuk. "Ternyata benar kamu. Kalau tidak salah, namamu Lisbet." Aku menatapnya dengan sinis, namun dengan cepat memasang senyuman tidak ikhlas. "Iya, kamu pasti Eli kan?" tanyaku, sengaja menggoda.

"Hei-" ucapannya terhenti.

Seseorang keluar, tampangnya seperti bapak-bapak berumur 50 tahun. Aku menduga itu adalah Pak Lewis. Sebelum aku sempat bertanya, bapak itu sudah bicara, "Apakah kamu Elisabet?" tanya bapak itu. "Iya, saya sendiri," jawabku dengan senyuman ikhlas.

Pak Lewis dengan tatapan marah menoleh ke arah Kaeli. "Mengapa kamu tidak membantu dia masuk? Apakah kamu tidak bisa melihat, dia sudah basah terkena hujan?" ujar Pak Lewis, memarahi Kaeli. "Aku sudah menolongnya, pah," jawab Kaeli.

'Huh? Pah? Kaeli anak Pak Lewis? Dan apa maksudnya sudah menolong? Dia dari tadi hanya memerintahku! Tanpa membantuku sama sekali,' gumamku dalam hati.

Pak Lewis mengabaikan ucapan Kaeli, dan dengan ramah mempersilahkanku masuk. "Ayo, Elisabet. Silakan masuk ke dalam." Pak Lewis menyambutku dengan baik, sangat berbanding terbalik dengan anaknya, Kaeli.

"Baik, Pak. Terima kasih," jawabku.

Aku pun masuk ke dalam dengan baju yang sedikit basah. Namun, sebelum aku sempat duduk, seorang pelayan datang dan memberikanku satu set pakaian ganti. Aku sedikit terkejut. "Eh? Terima kasih. Tapi, maaf, aku tidak bisa menerima ini. Lagipula, bajuku sudah mulai kering." Aku menjelaskan dengan senyuman ramah dan nada suara yang tidak enak. Kemudian, mengembalikan satu set pakaian itu ke atas tangan pelayan.

Kaeli mendekati pelayan itu, lalu mengambil pakaian di atas tangan pelayan itu. "Pakai saja, ini baru. Bokap gua kan penjahit, jadi punya banyak koleksi pakaian laki-laki maupun perempuan," jelas Kaeli sambil mengulurkan satu set pakaian tadi ke depanku, berharap aku menerimanya.

Aku menatap satu set pakaian itu, mencoba memikirkannya kembali. Dengan pertimbangan yang matang, aku pun memutuskan untuk menerimanya. Aku merasa tidak enak dengan Pak Lewis yang sejak tadi memperhatikan aku dan Kaeli. Dengan sopan, aku mengambil satu set pakaian itu. "Terima kasih banyak, aku sangat menghargai ini," ucapku dengan tulus.

My Beautiful SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang