20// Sebuah Taman Tanpa Tanaman

36 7 0
                                    

▼△▼△▼△▼△

.

.

"B-bbapakk..."

Suara paraunya seketika membuat Damar tersentak, roti yang sebelumnya hendak dimakan, kini telah kembali tergletak. Damar berdiri, kemudian berjalan mendekati brankar Benta. Mendengar suara parau Benta tentu saja membuat hatinya lebih tenang.

"Ben?"

Benta melirik kecil, menatap Damar yang juga menatapnya. "Mas?" celetuknya lemas. "B-bapak sama... Ibu aku mana?"

Damar tersenyum kecut, ia tak tahu harus membalas ucapan Benta bagaimana. "Gimana keadaannya? Kamu mau minum?" tanyanya, berusaha mengalihkan topik Benta.

"Bapak, Mas."

"Di mana?"

Damar mengalihkan pandangannya, matanya kini menatap pintu kaca. Tadi pagi, sebelum subuh Simbah pulang bersama Yoga. Setelah mengantarkan Deka pulang, Yoga dengan senang hati kembali ke Rumah Sakit untuk kembali menjemput sekaligus membawa Simbah pulang. Sebelumnya, Simbah bilang mau pulang untuk mengambil beberapa baju Benta, tikar, dan juga tremos air panas.

Pagi ini, matahari terbit dari Timur, cahayanya begitu cerah. Sama dengan Benta, matanya telah terbuka, walau perkataannya cukup ngelantur, tapi Damar benar senangnya.

"Mamas panggilin Dokter dulu, ya?"

Benta berusaha meraih tangan Damar, namun karna pergerakannya yang lambat, membuatnya hanya dapat menarik kemeja biru Damar, itupun tak lama karna setelahnya lepas begitu saja.

Damar membalikkan tubuhnya, "Kenapa?" tanyanya.

"Kenapa Bapak sama Ibu ngga kesini?"

"Apa mereka ngga mau ketemu aku? Mumpung masih hidup."

Damar baru pertama kali ini merasa tak bisa menjawab pertanyaan Benta. Pasalnya, Damar juga tidak tau mengapa mereka tidak mengunjungi putranya yang hampir saja kehilangan nyawanya.

"Aku udah begini, masa ngga ada yang kesini sekalipun."

"Kamu baru bangun, Mamas panggilin Dokter aja dulu." Mendengar jawaban yang tidak sesuai pertanyaan, membuat Benta merasa semakin sakit.

Tatapan Benta teralih, kini ia tak lagi menatap Damar, ia bahkan tak tau apakah saudaranya itu masih di tempat atau sudah berlaru. Benta menatap langit-langit ruangan dengan sendu, pikirannya benar-benar kosong, ia juga tak tau mengapa ia bertanya seperti itu. Tapi, hatinya beerkata lain, sepertinya Benta benar-benar ingin sekali dikunjungi Bapak dan Ibu.

Matanya sesekali tertutup, ia kembali membuka memori-memori di kepalanya. Nafasnya keluar dengan kasar membuat dadanya sedikit nyeri. Benta kembali teringat jelas, bagaimana mobil putih menumburnya begitu saja. Yang pasti ia juga teringat pada Kabinar.

"Kabinar, maaf."

Ia tak tau bagaimana keadaan Kabinar saat ini, yang seharusnya ia menemui Kabinar tadi malam, justru kini ikut terbaring lemah di brankar. Benta benar tak tau jika akan seperti ini, untung saja ia tak sampai lupa ingatan.

GELANTUNG || Segera Terbit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang