30 // Dan, Selesai

72 8 1
                                    

Setelah hari kepergianmu, semua orang merenung sedih, namun ... di hari-hari berikutnya semua memaksakan diri untuk rela dan ikhlas atas rasa sakit yang hadir saat dirimu pergi. Namun, selama masa merelakan serta mengikhlaskan, semua berujar aku harus bisa lupa semua tentang dia. Pada akhirnya, setelah berwaktu-waktu, semua mulai terbiasa tanpa dirimu.

"Mengenang itu sakit, namun melupakan juga bukan yang terbaik."

Nyatanya, semua orang punya cara tersendiri dalam menyikapi sakit karena kepergianmu. Tidak semua orang rela secepat itu, ada pula orang yang tetap hidup seperti sedia kala tanpa memikirkan kepergianmu.

"Benta ... " 

Suara hening kembali terpecah, setelah sekian menit berdiam diri, akhirnya suara dengan memanggil nama seseorang terdengar oleh alam. 

Sebelumnya, semua menutup mulutnya rapat-rapat. Sepakat untuk tetap diam, sesaat hati belum benar-benar siap. Rasanya ngilu mengingat segala hal tentang banyaknya kisah yang pernah diukir bersamamu.

Hembusan nafas dari berbagai pemilik terdengar jelas saat lagi-lagi tak ada suara lain untuk didengar. 

"Al-fatihah ... "

Setelah instruksi terdengar, semua hanya mampu menggerakan bibirnya untuk melantunkan apa yang sepatutnya dilantunkan. Segala harap-piarap baik melangit bersama doa-doa yang tak tergambar jelas. 

Tangan mengadah dan batin yang sejujurnya terluka, harapannya lekas sembuh tanpa memakan hari lagi.

Pagi ini, setelah sekian lama tak berkunjung, kini bahkan lebih dari tujuh orang bertamu pada rumah terakhir Benta. Membawakan sejuta doa yang manis serta ayat-ayat suci yang tulus dari hati.

Rencana hari ini sudah terancang jelas dari beberapa hari yang lalu, dengan persiapan yang matang pula untuk menyiapkan batinnya agar tetap aman terkendali.

"Siapa yang mau nuang air?" tanyanya dengan suara yang jelas setenang mungkin.

Di makam, jangan bising.

"Saya aja, Bu ... " 

Suara yang masih saja terdengar asing kini justru terngiang-ngiang dalam benak beberapa orang.

Fatin, ibu Bentala dan Deka.

Fatin meraih botol yang berisi air yang dibawa oleh mantan Ibu mertuanya. Sebenarnya, tak ada istilah mantan mertua, namun tetap saja, setatusnya dengan putra Ibu Suyati sudah bercerai.

"Benta, ini Ibu, Nak ... " ucapnya dengan mengusap-usap nisan bertulisan nama putranya dengan mantan suaminya. "Selamat jalan, Sayang. Salam untuk Bapakmu ya, Ibu titip kamu, biar Deka di sini bersama Ibu."

Simbah Suyati yang jongkok di samping tubuh Fatin, mengusap tegar pundak dan punggung wanita itu.

Deka yang masih terus bungkam hanya mampu menatap Ibunya yang kini dirangkul oleh Simbah. Suatu hal yang tidak pernah Deka bayangkan, lagi-lagi mengejutkan dirinya. Ia tak berharap, bahkan tak berpikir akan bertemu orang tuanya, apalagi dalam situasi seperti ini.

Deka menghembuskan nafasnya dalam-dalam, tangannya meraup bunga mawar yang sudah disiapkan, sedikit demi sedikit ia menaburkannya di atas makam Benta, dengan banyaknya kalimat yang hadir dalam batinnya.

Kabinar, gadis itu tentu saja ikut hadir dalam kegiatan kecil ini. Gadis itu juga sama halnya dengan Deka, melakukan hal yang sama pula, bedanya ia dengan menangis.

Ibu Kabinar juga hadir, kini wanita itu mengusap punggung putri satu-satunya, ia paham dengan apa yang dirasakannya saat ini. Ia merasa bersalah, dulu, ia sangat membenci putrinya berhubungan dengan Bentala, namun kini ia sadar, cinta mereka bukan lagi cinta monyet, bahkan ketulusannya sangat besar.

GELANTUNG || Segera Terbit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang