29 // Surat Dari Bentala

43 7 0
                                    


Damar memnampilkan salah satu amplop yang belum ia buka, "Ini, dari Bapak sama Ibu Mamas, tumben banget mereka ngirim di hari yang sama, tapi baru sempet Mamas ambil sekarang sih." ujarnya dengan mata tertuju pada saudaranya dan juga Simbah.

"Kenapa mesti pake amplop? Biasanya juga engga ... " 

Damar justru tertawa kecil mendengar pertanyaan dari Ian yang dilontarkan padanya. "Ya iseng aja, eh malah ngga sengaja barengan sama dua amplop itu." mata Damar seolah-olah menunjuk satu amplop yang telah terbuka dan satu amplop yang masih utuh.

"Ini kalian dapat jatah dua ratus, Simbah dapet lima ratus, terus Ibu ngasih uang empat ratus buat ngurus pemakaman Benta kemarin dan seperlunya besok." Damar mengeluarkan beberapa lembar uang, kemudian memberikan kepada saudaranya dengan nominal yang sudah ia katakan sebelumnya. "Jangan boros-boros, harus rajin menabung pokoknya." imbuhnya lagi saat beberapa respon antusias dari para saudaranya.

"Makasih banyak, Mas ... Padahal gue udah dapet part time, dan gue yakin bisa buat biaya kuliah sama makan." Bintang merasa tak enak hati sebenarnya, pasalnya sudah sekian lamanya ia membebani ayah dan ibu Mas Damar, walau kenyataannya mereka baik hati dan memang rezekinya lancar, namun tetap saja ia merasa sangat tak enak hati.

Yoga reflek mengangguk, kemudian dagunya menunjuk Nazan yang tak searah dengan tampat yang ia duduki. "Ho'oh loh, kemarin Nazan aja baru keterima magang, jelas cair setiap bulan." ucapnya dengan nada dan air muka yang menjaili kembarannya.

"Walaupun emang iya, tapi lo juga dapet part-time  ya kemarin! Seenggaknya juga dapat bayaran kali." protes Nazan dengan membenarkan posisi duduknya. "Jadi, buat besok, aku, Yoga udah jangan dijatah lagi. Kasian bude sama pakdhe, beban banget jadinya."

"Bener-bener ... " Bintang mengangguk mantap. "Aku juga, Mas. Aku itu udah dapet kerjaan, juga kan sekarang kebutuhan kita udah ngga sebanyak dulu, kita juga udah bisa buat mengatur keperluan masing-masing. Kita semua udah dewasa." 

Damar mengangguk kecil, "Mamas tau, Bin. Tapi kan, Ibu sama Bapak juga ikhlas ngasihnya, seenggaknya mereka berbuat itu untuk membantu kamu dan yang lain. Jadi, selama Bapak dan Ibu Mamas masih sanggup, ya itu oke aja." jelas Damar merasa tidak setuju atas ucapan Bintang yang menganggapnya beban Bapak dan Ibunya.

Bapak dan Ibu pernah berbicara dengannya, bahwa mereka akan selalu membantu saudaranya, setidaknya hingga mereka ber-rumah tangga masing-masing. Ibu sendiri yang pernah mengatakan bahwa beliau akan menganggap saudara Damar sebagai putranya , begitupun tak luput dari persetujuan Bapak kala itu di vidio callnya.

Walau kedua orang tau Damar sudah tak lagi bisa bersama, namun kedewasaan mereka masih terus ada. Damar sangat bersyukur kala kedua orang tuanya tak egois dalam permasalahan yang sudah-sudah. Namun tetap saja, mereka bercerai, dan Damar sendiri tak tau apa penyebabnya.

"Mas, tapi tadi di surat yag Mamas baca, Ibu bakal membiayai aku, jadi aku udah ngga perlu repot-repot dibiayai Bude sama Pakdhe." 

Damar kini beralih menatap Deka, ia tersenyum alih-alih menahan sabarnya. "Itu hak orang tua, Ka. Ibu kamu memang harus tanggung jawab sama hidup putranya, buat masalah Bapak Ibu Mamas yang masih terus bantu biaya kamu, ya, kamu anggap aja itu rezeki tambahan atau sekedar sangu buat kamu."

"Toh ini kebaikan, kamu terima aja, masalah mau kamu gunaiin untuk apa, ya itu hak kamu." Damar sebenarnya enggan untuk mendebatkan permasalahan ekonomi seperti ini, namun ia paham bagaimana perasaan saudara-saudaranya. Mereka pasti merasa menjadi beban.

Deka hanya pasrah, lagipula apa yang Damar katakan memang benar. "Iya deh, makasih banyak loh ini." ujar Deka pasrah dengan mengangkat lembaran uang yang sebelumnya ia terima.

GELANTUNG || Segera Terbit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang