08// Beban yang Kelabu

42 9 0
                                    

▼△▼△▼△▼△

Tidak tau bagaimana, tapi malam ini hujan sangat deras sekali, sesekali suara petir juga terdengar nyaring. Jika hujan deras di sertai petir, simbah pasti tidak mengizinkan cucu-cucunya bermain ponsel, takut-takut tersambar petir. Seperti biasa pula, jika hujan mengguyur deras, simbah pasti meminta semuanya untuk menutup pintu sekaligus jendela-jendela dan menyuruh semuanya berada di ruang tengah.

Jika ada yang mau mengerjakan tugas, maka di ruang tengah, jika ada yang mau tidur atau bermain pun harus di ruang tengah. Entah bagaimana, tapi sudah menjadi kebiasaan untuk semuanya.

Dengan meletakan kepala di paha simbah, Benta menatap kosong atap-atap rumah, membiarkan matanya memperhatikan sawang-sawang di sana. Tubuhnya meringkuk, malas sekali jika harus bangun dan mengambil selimut di kamar, rasanya sudah sangat nyaman seperti ini, tapi dinginnya malam membuatnya sedikit merinding.

"Ian sama Deka tugasnya belum selesai?" Damar baru keluar dari dapur, membawa nampan berisi delapan gelas yang terisi teh hangat yang menguap.

Deka menggeleng, manik matanya masih fokus menatap barisan soal yang menurutnya tidak sulit tapi tidak mudah jika di kerjakan sendiri. Sedangkan Ian, bocah itu mendongak, lantas mengubah posisi dari tidur tengkurap menjadi terduduk.

"Mas, aku mau tehh! gelas biasanya dong." tangan Ian terjulur ke atas, meminta pada Damar.

Damar hanya berdehem, kemudian segera meletakan nampan biru itu di atas tikar, membiarkan siapa saja mengambil bagiannya. Lagian ia tidak membeda-bedakan teh yang telah ia buat.

"Punya simbah yang ada lambar sama tutupnya!"

"Gue yang ada gagangnya!" seru Benta, badannya sigap terduduk, mengambil gelas teh incarannya yang menurutnya terisi lebih sedikit dari gelas-gelas yang lain.

Deka menoleh, memandangi sang kakak yang begitu antusias. "Mass, bantuiinn."

Benta berdecak, hujan-hujan begini enaknya untuk melamun sembari menikmati dunianya. Adiknya itu kadang memang sangat menyebalkan.

Benta mengesot, mendekati Deka yang tengkurap, lantas matanya menyrengit melihat soal-soal latihan Deka. "Mana?"

Deka tersenyum puas, pensil di tangannya menunjuk-nunjuk beberapa soal latihannya. "Ini, ini, ini semua yang belum di kerjain."

Benta mendesis, kemudian telunjuknya menonyor kecil kepala Deka. "Kebiasaann!"

"MINTA TOLONG DOANG, YAALLAHH!"

"Ini mah lo baru ngerjain tiga soal doang, sisanya gue!"

"Dih, sekali aja lah."

"Ngga, otak lo nanti ga pinter-pinter kalo Mamas yang ngerjain."

Deka memutar bola matanya malas, menatap sinis Benta yang kian menjauh darinya. "Dasarr, bilang aja ga mau!"

"Gini amat ga punya bapak sama ibu, ga enak, hidup kaya anjing banget." monolog Deka sedikit keras.

Benta yang sedang meniup teh miliknya seketika berhenti, matanya mendelik. "Ngomong apa kamu, Ka?"

"Sekali lagi coba!"

Deka menatap tajam Benta, menyiasatkan rasa kesal di dadanya. "Hidup kaya anjing!!"

GELANTUNG || Segera Terbit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang