7. Nomor enam belas

5 0 0
                                    

Jam empat pagi atau biasanya di sebut dini hari, Zura benar-benar terbangun dari tidurnya setelah pertikaian yang panjang dengan matanya yang susah di ajak bekerja sama untuk tidur. Zura melihat jam dinding kamarnya yang ternyata baru jam empat lewat tiga menit, pandangan Zura beralih ke atap kamar nya. Pandangannya menatap atap dengan tatapan kosong khas manusia baru bangun tidur. Tidak lama, niatnya telah penuh untuk beranjak bangun dari tempat tidurnya. Tempat tidur yang di bereskan, kemudian membuka jendela. Memang agak aneh membuka jendela di jam segini, tapi Zura ingin mencoba melihat matahari terbit pagi ini.

Langkahnya mengarah ke pintu kamar dimana handphone yang di tendangnya semalam tergeletak di depan pintu tersebut. Zura berkacak pinggang memutar bola matanya malas sambil berdecak kesal bercampur rasa menyesal. Ia kan, penyesalan tidak datang di awal tapi di akhir. Begitulah manusia.

Di raihnya handphone yang layar anti goresnya sudah retak karena tendangan Zura membuat handphone itu terpantul ke dinding.

"Aish, ini masih nyala gak yah. Semoga aja nyala." Di nyalakannya handphone itu dan alhasil tidak menyala sama sekali.

Pikiran Zura tidak pendek, ia beralih ke tempat charger handphonenya kemudian mulai menyolokkan kabel usb tipe c nya ke lobang kecil handphonenya. Zura terkejut melihat handphonenya menyala saat di charger.

"Astaga, untung aja masih nyala. Soalnya mau ngechat Darren." Zura meletakkan handphonenya di atas meja kemudian beranjak keluar dari kamarnya.

Kondisi rumahnya masih sangat sepi, Zura berjalan perlahan tanpa menimbulkan suara berisik sedikitpun agar manusia yang sedang tertidur di rumahnya itu tidak terbangun. Di dapur tampak sangat gelap, tangan Zura meraba dinding mencari saklar lampu kemudian menyalakan lampu di dapur tersebut.

Zura menatap meja dapur yang di atasnya terlihat beberapa kantong kresek yang biasanya di gunakan oleh pedagang jajanan di pinggir jalan. Tanpa berpikir Zura melihat isi kantong kresek tersebut dan tentu saja isinya adalah jajanan gorengan. Entah siapa yang membelinya, tapi tampaknya gorengan itu baru di beli tadi malam ini.

"Mungkin mama kali yang beli pas pulang dari kantor. Ambil aja ah, sambil makan di kamar liat matahari terbit." Ide Zura bagus juga. Tangannya mengambil empat kantong kresek yang berisi gorengan tersebut kemudian mengambil beberapa buah di kulkas dan juga nasi putih yang sudah di nanak oleh bibinya. Makan tanpa nasi itu rasanya tidak akan kenyang.

Saat Zura keluar dari dapur tampak bibi yang berdiri dengan style pakaian tidur berwarna kekuningan membuat jantung Zura hampir copot.

"Astaga, bi! Ngapain disini, sih. Bikin kaget aja." Zura mengoceh kepada bibinya yang juga seharusnya bibi yang bertanya seperti itu kepada Zura.

"Lah, non. Bukannya bibi yang harus nanya. Tumben non Zura bangun jam segini mana ke dapur lagi." Bibi menatap kantong kresek yang di bawa Zura dan beberapa cemilan lainnya.

Pertanyaan bibi membuat Zura tidak mood untuk menjawabnya, tapi jika tidak di jawab maka mulut bibinya akan kembali bertanya di pagi hari tapi kepada mama dan papanya.

"Laper, bi. Udah yah mau balik ke kamar, mau makan." Jawab Zura simpel seperti jawaban seseorang pada umumnya jika di dapur, iya lapar. Zura lapar habis tidur.

"Astaga, non. Gak baik makan di kamar, gak baik. Kecuali orang sakit yah bisa. Tapi ini non Zura masih sehat sehat aja. Makan di sini aja yah, non." Bujuk bibi kepada Zura.

Perkataan bibi berhasil membuat Zura menaikkan sebelah alisnya dan menatap bibi dengan datar. "Aku lapar bi, mau makan. Dimanapun aku makan itu mau-mau aku. Bibi lanjut aja deh, ah. Ganggu aja." Gertakan Zura membuat bibi tidak bisa berkata apa-apa lagi. Memang Zura itu sangat susah untuk di atur barang sedikitpun.

RUMAH SINGGAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang