trisella || Maaf, Kembalilah....

358 30 1
                                    

Nothing ~ The Script
• • • • • • • • • • • • • • • • •

Am I better off dead?
Am I better off a quitter?
They say I'm better off now
Than I ever was with her

"Sudahlah, untuk apa kau mengemis perasaan kepada dia yang sudah melepasmu?"

Aku mendengus kesal. Lagi-lagi kata-kata itu yang kudengar.

Memangnya mereka tahu apa tentang perasaanku? Memangnya mereka tahu, bagaimana rasanya dicampakkan oleh seseorang yang mereka cintai karena satu kesalahan kecil yang fatal?

They say a few drinks will help me to forget her

"Lebih baik kau minum sedikit. Lupakanlah dia sejenak."

Aku memandangi gelas kecil berisi cairan berwarna-hampir-seperti teh yang baru saja diletakkan di hadapanku.

"Ayolah. Sedikit saja. Biarkan pikiranmu untuk beristirahat sebentar."

Aku menghela napas panjang. Haruskah?

Ragu-ragu, aku menghirupnya perlahan. Aromanya sungguh menusuk. Tapi kalau memang dengan satu gelas kecil ini aku bisa menyingkirkan wajahnya dari pikiranku, sepertinya aku harus berterimakasih pada teman-temanku.

Satu gelas, dua gelas, ... , sepuluh gelas. Aku mulai frustasi. Mereka bilang, minuman ini bisa menolongku. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Suara merdunya terus bergema di telingaku. Wajahnya yang penuh airmata benar-benar mengganggu kesadaranku. Kepalaku serasa melayang. Tapi semuanya terasa berat. Minuman ini tak bisa membantuku untuk melupakannya.

Oh, tolong. Aku mulai gila.

*****

"Gara! Apa kau sudah gila? Ini sudah malam. Untuk apa kau pergi ke rumahnya?"

Aku berdecak kesal. Aku masih merasakan kepalaku seolah melayang.

"Diamlah! Ini mobilku. Kenapa kau yang protes?"

"Ini sudah tengah malam, Gara. Kau memang gila."

They all think I'm crazy but to me it's perfect sense

"Diam atau lupakan persahabatan kita mulai detik ini juga."

Aku hanya mendengar helaan napas panjang dari Galen.

Sepanjang jalan, aku hanya mampu memejamkan mata. Kepalaku serasa mau meledak. Semakin dalam aku memejamkan mata, semakin jelas pula wajahnya yang kulihat dalam kegelapan.

Suara tawa bahagianya bahkan terngiang dengan jelas di kedua telingaku. Tolong, aku mulai gila. Aku terlalu merindukannya. Aku tak mau dia pergi meninggalkanku.

"Bangunlah, kita sudah sampai."

Galen benar, di sampingku berdiri tegak pagar tinggi berwarna hitam. Jantungku terasa berdebar kencang. Sungguh, aku merindukan gadisku.

Dengan langkah yang tak seimbang, aku keluar dari mobil diikuti dengan Galen yang berdiri tak jauh di belakang.

Tak lama kemudian, aku mendengar deru mobil lain berhenti tepat di belakang Galen. Ah, aku mengenal keempat sosok yang baru saja keluar dari sana. Aku hanya tersenyum miris saat menangkap tatapan iba dari mereka. Apa aku terlihat begitu menyedihkan?

Dari luar pagar, aku mendongak sedikit ke arah sebuah jendela besar. Ya, aku tahu bahwa di dalam jendela tersebut, ada satu kamar besar yang dihuninya. Aku sempat tersenyum lebar. Sudah tengah malam, tapi lampunya masih menyala.

Ah, Ruby. Apa saat ini kau belum terlelap karena memikirkanku?

"RUBY!" Aku meneriakkan namanya.

Tak ada jawaban.

"RUBY!" Lagi-lagi aku meneriakkan namanya.

"Gara! Kau benar-benar gila! Ini sudah tengah malam, kau tahu?" Galen mendekatiku. Memegang bahuku dengan genggaman yang sedikit keras.

"Ruby! Aku mohon turunlah, Ruby!" Aku tak memedulikan Galen. "Ruby! Kita harus bicara!"

"Ayolah, lebih baik kau pulang, Gara. Kau benar-benar mabuk."

Aku tahu, itu suara Farand. Lagi-lagi aku tak memedulikan mereka. Aku hanya ingin bertemu Ruby-ku. Aku benar-benar merindukannya.

And my mates are all there trying to calm me down
'Cause I'm shouting your name all over town

"Ruby! Aku tahu kau mendengarku, Ruby. Aku mohon maafkan aku. Kembalilah, Ruby."

Jantungku seperti sedang diremas kuat. Dua hari lalu aku membiarkan Ruby pergi dengan tangis. Dan saat ini keadaan berbalik. Aku benar-benar memintanya untuk kembali.

Aku tahu, aku benar-benar menyakitinya. Bermesraan dengan perempuan lain di saat Ruby bermaksud untuk memberiku kejutan sepulangnya ia dari London selama enam bulan.

"Galen, berikan ponselmu."

"Untuk apa?"

And I know that I'm drunk but I'll say the words
And she'll listen this time even though they're slurred

Aku berdecak kesal. "Karena Ruby tak akan mengangkat jika tahu aku yang meneleponnya. Cepat!"

Dengan pasrah, Galen memberikan ponselnya.

So I, dialed her number and confessed to her

Aku menekan serangkaian nomor yang sudah kuhapal.

Pada nada sambung kedua, aku mendengar suaranya dengan jelas. Sudut-sudut bibirku terkembang lebar. Ah, aku rindu suaranya.

"Ruby, aku mencintaimu. Maafkan aku Ruby. Aku tak bermaksud mengkhianatimu. Aku mohon Ruby, percayalah. Aku sungguh mencintaimu."

Jantungku serasa diremas kuat. Aku benar-benar tak mau jika Ruby meninggalkanku.

Di seberang telepon, tidak ada suara Ruby yang menjawabku. Yang aku dengar hanya deru napasnya yang tersendat. Bahkan aku bisa mendengar tangisannya meskipun samar. Oh, tidak. Aku tak mau membuat Ruby menangis lagi.

"Ruby, apa kau mendengarku? Aku mohon Ruby. Kembalilah padaku."

Lagi-lagi tak ada jawaban. Sambungan telepon terputus begitu saja.

I'm still in love but all I heard
Was nothing (nothing, nothing, nothing)

Di hadapanku, ruangan yang tadinya terang, kini berubah gelap.

Aku mohon Ruby, jangan matikan lampunya. Aku ingin bicara. Keluarlah...
• • • • • • • • •
THE END

[2] Song FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang