AmikoRizuka || My Life

167 16 0
                                    

For The Rest of My Life by Maher Zain
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •

Aku terbangun. Seseorang menggerakkan tubuhku, membuatku mengerang dan terpaksa membuka mata. Suara lembut itu menegakkan indera pendengarku. Suara yang setiap pagi kudengar. Suara yang setiap saat sangat kusukai.

"Sayang, bangun! Subuh dulu, yuk!" Aku hanya bisa menyungging seulas senyum kecil dan kembali menutup mataku. Kurasakan sebuah tangan lentik menyapu lenganku dan menggoyang-goyangkannya. "Mas, bangun! Sholat dulu!" ucapnya lagi dengan nada merajuknya. Aku suka mendengar suara rajukkannya. Menggodanya itu sangat menyenangkan.

"Udah ah!" geramnya kesal, lalu berniat beranjak dari kasur. Segera aku menariknya, membuatnya kembali terjatuh di atas kasur dan kemudian menenggelamkannya ke dalam pelukkanku.

Kuhirup kuat rambutnya dengan aroma lemon yang sangat menenangkan. Dia memberontak dalam dekapanku. Mendorong tubuhku kuat-kuat walau itu sangatlah sia-sia.

"Sebentar, ya, Dek. Aku pengen nyium aromamu," lirihku dengan nada menggoda. Aku sangat yakin pipinya kini tengah menggembung dan merona merah. Bidadariku ini sangat mudah digoda dan hanya aku yang bisa melakukannya.

"Nggak tau! Aku kesel sama Mas!" Dia memberontak hebat, membuatku sedikit oleng dan kemudian dekapan kami terlepas. Aku mengernyitkan alis, heran... Kenapa dia tiba-tiba memaki dan nampak sebegitu kesalnya?

"Dek! Maafin aku, ya? Yuk, sholat!" ajakku dan berimbas dengan sebuah bantal yang melayang mengenai tubuhku.

"Sholat sendiri!?" bentaknya.

Hey! Ada apa dengan wanitaku itu? Kenapa dia tiba-tiba saja sangat emosional dan nampak labil? Baru beberapa saat yang lalu ia nampak ceria dan begitu semangat membangunkanku, lalu sekarang tiba-tiba saja berubah seperti macan?

***

Usai sholat subuh aku berniat menghampiri wanitaku itu lagi. Ia nampak sibuk di dapur. Memasak, tentu saja... Tapi tunggu! Kenapa ia memasak udang?

"Dek, kok masak udang?" tanyaku penasaran.

"Ya, mau aja, Mas! Pokoknya Mas harus makan!" ancamnya. Seketika aku merasa tenggorokkanku tercekat. A-apa? Aku makan udang? Bukankah dia tahu aku sangat tidak menyukai segala jenis makanan apapun yang mengandung unsur udang?

"T-tapi aku nggak suka udang, Dek," lirihku ragu.

Wanitaku itu tiba-tiba saja berbalik ke arahku dengan menyongsongkan spatulanya. Aku merasa ini di luar logika. Di mana bidadari lemah lembutku? Kenapa dia segarang ini?

"Makan! Aku nggak mau tau!" bentaknya, membuat nyaliku semakin menciut.

"I-iya," lirihku dan sejurus kemudian sepiring oseng udang tersaji di hadapanku. Aku meneguk ludah dengan susah payah. Aku benar-benar tidak menyukai hidangan ini.

Bidadariku itu nampak tersenyum sumringah, ia duduk di hadapanku, seakan-akan ia akan menontonku makan dan menatapku dengan mengintimidasi. Perlahan aku menyendok oseng udang itu dengan ragu dan memakan makanan yang sangat tidak kusukai itu. Baru mengunyahnya sebentar, bidadariku itu nampak menutup hidungnya.

"Ewh! Baunya nggak enak, Mas! Sudah berhenti!" ucapnya. Aku mengernyitkan alis dan menatap wanitaku itu. Ia nampak berlari ke arah westafel dan memuntahkan isi perutnya--yang notabenenya belum terisi apa-apa, sehingga hanya ludah bercampur asam lambung.

Segera aku menghampirinya dan memijat pelan pundaknya. Iapun jatuu pingsan. Aku panik dan segera membopongnya, masuk ke dalam mobil dan bergegas ke rumah sakit.

***

Aku tersenyum. Tentu, sedari tadi aku terus tersenyum. Entah sudah segila apa aku, yang jelas aku sangat bahagia.

Kuusap lembut dahi bidadariku, kemudian kukecup penuh cinta. Kupandangi wajah sejuknya. Wajah cantik alaminya. Wajah yang sangat memikat dimataku.

"M-mas?" Sayup-sayup ia mulai terbangun. Bibirnya melenguh memanggilku. Keringat berjatuhan dari dahinya. Ia nampak tak sehat, tapi ia sangat sehat sejujurnya.

Perlahan wanitaku itu bangkit. Aku membantunya hingga ia duduk dan bersandar di kepala ranjang. Kusodorkan segelas air putih kepadanya dan ia menenggaknya sedikit.

"Sudah baikan?" tanyaku, sembari membelai rambut hitam panjangnya. Ia tersenyum lemah dan mengangguk kecil. "Aku mau nyanyiin sesuatu buatmu. Mau dengar, Dek?" tanyaku lagi, lalu meraih gitar milikku yang kusandarkan di sebelah nakas.

Seraut senyum nampak dibibirnya. Ia mengangguk semangat dan nampak sumringah. Ia membenarkan posisi duduknya dan nampak siap mendengarkanku.

"I praise Allah for sending me you my love
You found me home and sail with me
And I'm here with you
Now let me let you know
You've opened my heart
I was always thinking that love was wrong
But everything was changed when you came along... Oh
And theres a couple words I want to say...."

Kupandangi wajahnya yang nampak tenang dan menikmati lagu yang kunyanyikan. Aku mencintainya. Selalu, hingga akhir nanti... Aku dan dia.

"For the rest of my life
I'll be with you
I'll stay by your side honest and true
Till the end of my time
I'll be loving you. loving you
For the rest of my life
Thru days and night
I'll thank Allah for open my eyes
Now and forever I I'll be there for you...."

Kuakhiri lagu ini. Kembali kutatap wajahnya yang sumringah. Kubelai pipinya san kukecup keningnya. Aku pun meraba perutnya yang masih rata.

"Jaga dirimu, Dek... Ada dua nyawa ditubuhmu sekarang," ucapku dan berakhir pada sebuah pelukan dari dirinya. Wanitaku menangis, terharu.

"B-benarkah, Mas?" tanyanya bergetar.

Aku mengusap kepalanya, menyisir helai demi helai rambutnya dan mengangguk lembut. "Ya, kamu hamil, Dek," jawabku tak kalah senang. Kami berpelukan erat. Sangat erat. Kini hidup kami akan semakin lengkap.

"Aku harus siap-siap kalau kamu ngidam yang aneh," ucapku sedikit menggodanya dan berakhir dengan sebuah cibiran kecil dari bibir mungilnya. Kami berpelukkan lagi.

***

Banjarmasin, 1 Juni 2015

[2] Song FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang