GV. 18

494 66 1
                                    

"Aku hanya tidak mampu membiarkanmu terluka. Karena kamu satu-satunya jalan agar aku bisa memperbaiki duniaku." lanjutnya.

Telinga serigalanya bergerak-gerak lagi, dan sesuatu seperti sorot penyesalan memancar di kedua matanya. "Dan juga.. aku minta maaf,"

Haechan menengok ke belakang, melirik kembali ke kedua pohon yg baru saja dibuatnya tumbang itu, "..aku sama sekali tidak mengira kalau pohon itu akan jatuh ke arahmu. Aku hanya.. merasa frustrasi." ia menunduk menatap ke tangan half-shifternya yg perlahan berubah wujud kembali menjadi tangan manusia normal.

"Ada banyak masalah yg harus aku tuntaskan sesegera mungkin. Dari menemukan si Un-raveler, sampai menulis ulang ceritaku." sambungnya.

Renjun tersenyum tipis mendengarkan. Pemuda mungil itu tidak menyangka Haechan akan meminta maaf kepadanya, mungkin ia memang tidaklah seburuk itu. "Permintaan maaf diterima. Dan aku janji akan melakukan yg terbaik untuk memperbaiki duniamu, tidak peduli apapun rintangannya."

Saat itulah Renjun baru menyadari ruas-ruas jari tangan Haechan yg memerah, darah nampak mengalir dari banyaknya luka-luka memar dan goresan-goresan tipis di tangan itu. "Itu kelihatan jauh lebih parah dari lukaku. Aku hampir tidak percaya, karakter yg orang-orang cap sebagai antagonis dan villain ini justru malah mengkhawatirkan lukaku lebih dulu." batinnya.

"Hey, kamu juga terluka."

Haechan melenturkan tangannya yg terluka dengan gerakan memutar lalu mengedikkan bahunya, "Tidak ada yg patah, aku baik-baik saja."

"Aku menyimpan plester luka darurat di dompetku. Aku bisa memasangkannya di tanganmu, lalu nanti setelah pulang kita bisa mengompresnya dengan es batu agar pembengkakan memarnya menghilang."

Haechan menatap Renjun dengan curiga saat ia mengeluarkan tiga buah plester luka dari dalam dompetnya. "Itu tidak kelihatan seperti pembalut luka manapun yg pernah aku lihat sebelumnya."

Ia memperhatikannya dengan ekspresi kagum seperti anak kecil polos yg baru pertamakali melihat plester luka saat si pemuda mungil memasangkan plester pertama, "Ini lengket." Mendengar reaksi itu Renjun mati-matian menahan tawanya, tidak ingin membuat pria tersebut tersinggung marah.

"Bagian yg lengket ini adalah perekat. Ini yg membuat plesternya bisa terus menempel. Hati-hati kalau kamu ingin melepaskannya, itu akan terasa sedikit perih." jelas Renjun.

Telinga si manusia serigala kembali bergerak, sembari ia melirik ke Renjun, "Kenapa kamu merawat lukaku? Seharusnya kamu takut."

Mendengar pertanyaan itu membuat si pemuda mungil merasa semakin yakin bahwa selama ini Haechan pasti menangani segala sesuatu yg terjadi padanya hanya seorang diri. "Mungkin juga itulah yg menjadi penyebab dia merasa kesulitan untuk bekerja sama dengan yg lain."

Renjun menatap lurus ke arah retina pria di depannya lalu menjawab, "Aku tidak takut padamu, Chan."

"Tentu semua ancaman yg kamu berikan dan suara geramanmu keduanya memang cukup.. tidak menyenangkan. Tapi, kamu bukan The Big Bad Wolf seperti yg orang-orang katakan." lanjutnya, ia berhenti sejenak karena untuk beberapa detik ia kira perkataannya mungkin menyinggung Haechan, tetapi pria itu justru terdiam.

"Aku sudah membaca banyak sekali buku, tapi aku lebih suka jika saja aku bisa membaca pikiran orang lain juga." Renjun telah selesai memasangkan plester luka terakhirnya, kemudian ia mengusap lembut luka-luka yg sudah tertutupi plester itu sekilas sebelum menjauhkan tangannya.

"Dan aku rasa kamu bukan tipe seseorang yg akan melukai siapapun tanpa alasan. Bahkan mungkin saja kamu punya rasa simpati ke orang lain jauh lebih banyak dari yg kamu tunjukan. Dan aku juga bisa melihat kalau kamu itu sedang sangat memperjuangkan sesuatu."

Good Villains 𖨂 Jaemren, Hyuckren, NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang