Sakya meletakan kardus pada meja dengan kasar, menjatuhkan tubuhnya di sofa sambil memejamkan matanya-guna meredakan emosinya yang ingin sekali ia ledakan.
Menyedihkan sekali menjadi dirinya. Benar-benar dianggap sumber masalah dan beban. Bahkan papah kandungnya sendiri tidak menginginkan dirinya dan malah menyuruhnya mati. Sedangkan sedari dulu sampai sekarang ia mati-matian hidup dalam mati, hidup dalam kebencian, hidup dalam luka, hidup dalam kesedihan bahkan hidup dalam penyesalan terbesarnya.
Papahnya tidak tau separah apa lukanya, sehancur apa hatinya dan se-sesak apa dadanya karna tercekik napas sendiri. Dirinya benar-benar tidak jauh beda seperti anak buangan yang tidak pernah diinginkan kehadirannya. Tidak pernah diberi perhatian dan kasih sayang, bahkan tidak dibiarkan untuk bahagia.
Lalu sekarang saat Sakya menjadi pemberontak dan menjadi gila seperti ini, papahnya itu tetap menyalahkannya, tetap mengatakan jika ia tidak berguna, hanya menyusahkan, pembawa sial, beban bahkan pembunuh? Astaga, Sakya ingin tertawa keras saking lucunya lelucon papahnya itu, dirinya yang sekarang adalah hasil dari apa yang dulu pria tua itu lakukan padanya! Mengapa dirinya tetap saja disalahkan?
Sakya mengusap kasar wajahnya, ucapan papahnya yang menyakitkan terus saja terngiang di kepalanya.
"Kamu itu tidak berguna."
"Kamu itu tidak tau diri."
"Kamu hanya bisa memberontak!"
"Kamu selalu menyusahkan saya!"
"Kamu itu anak tidak tau berterimakasih."
"Kamu itu beban untuk saya."
"Kamu itu pembunuh!"
"Kamu itu biang masalah!"
"Kamu tidak pernah berarti untuk saya!"
"Kenapa dulu kamu tidak ikut mati saja!"
"Saya benar-benar ingin kamu mati!"
Sakya membuka kembali matanya. napasnya naik-turun, dirinya benar-benar emosi, dengan kedua tangan yang tekepa kuat, Sakya langsung menojok vas bunga yang terletak di atas meja hingga vas tersebut hancur.
Kedua matanya memanas, ia berdiri dari tempatnya, berjalan mendekat pada tembok dan meninju tembok di hadapannya berulang kali hingga nembuat kepala tangannya mengeluarkan darah. Emosinya meledak, ucapan menyakitkan Ardan terus saja terngiang-ngiang di kepalanya hingga membuatnya semakin gila untuk melukai dirinya.
"Sialan! bangsat!" Sakya membenturkan kepalanya pada tembok, memejamkan matanya saat kepalanya terasa pusing.
Ini menyakitkan, sungguh. Sakya benar-benar tersiksa saat ini. Dadanya semakin terasa sesak, mata yang semula hanya memanas dengan penuh kebencian, kini berubah menjadi lautan air mata penuh luka dan kesedihan.
Kali ini Sakya menyerah, ia benar-benar lelah. Dirinya sudah berada di puncak terlelahnya. Bahkan ucapan menyakitkan Ardan yang selalu tidak ia pedulikan itu pun kini terasa menusuk untuknya. Kata-kata Ardan itu terus saja menghantam hatinya, membuat dadanya semakin sesak hingga dirinya sulit untuk bernapas.
"Kenapa!" Sakya berteriak, semakin semangat meninju tembok dan membenturkan kepalanya hingga membuat kepalanya ikut mengeluarkan darah.
Sakya tidak peduli dengan luka di tangan dan kepalanya, karnauka di hatinyalah yang lebih menyakitkan.
"Sakya! Apa yang lo lakuin!" Salsa yang baru saja datang harus disuguhkan dengan Sakya yang tengah menyakiti dirinya sendiri.
Salsa melempar asal tasnya, mendekat pada Sakya dengan raut wajah khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐚𝐤𝐲𝐚: 𝐈'𝐦 (𝐧𝐨𝐭) 𝐨𝐤𝐚𝐲!✔
Teen Fiction❝𝐇𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐢𝐧𝐠𝐢𝐧 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐠𝐢𝐚 𝐭𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐭𝐞𝐫𝐮𝐬 𝐝𝐢𝐛𝐮𝐧𝐮𝐡 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐩𝐞𝐫𝐤𝐚𝐭𝐚𝐚𝐧.❝ ▪︎▪︎▪︎ Sakya hanyalah seorang anak yang dibenci oleh suatu hal yang tak seharusnya dilimpahkan kepadanya. Dibenci hanya karena ketida...