Setelah hampir dibuat mati oleh kembarannya dan berakhir kembali terbaring lemah selama tiga hari di rumah sakit, kini Taksa sudah bisa pulang ke rumah bersama ketiga temannya itu.
Taksa merasa bersyukur karna kedua orang tuanya tengah berada di luar kota. Jika saja mereka ada di rumah, terutama papahnya. Sudah dipastikan masalah baru akan terjadi, papahnya itu pasti akan membunuh Sakya karna telah kembali membuatnya seperti ini.
"Selama rumah lo sepi, gua sama Mark di sini aja yah. Jagain lo," usul Lavino sambil membantu Taksa berbaring di tempat tidur.
Taksa menggeleng, "gak usah, pembantu di sini bakal balik kok."
"Tapi tiga hari lagi, kan?" Kini giliran Mark yang bersuara. Menjatuhkan tubuhnya di kasur yang sama dengan Taksa.
Taksa mengangguk sebagai jawaban.
"Gimana kalo Salsa di sini aja, jagain lo sampe lo sembuh?" Lavino kembali memberi usul, namun kembali diberi gelengan oleh Taksa.
"Bukannya kalo Salsa di sini bakal bikin Sakya ngamuk lagi?" tanya Taksa sambil terkekeh pelan.
"Ah bangsat! Dia gila atau apa sih," gerutu Mark sambil membaringkan tubuhnya, menenggelamkan wajahnya pada bantal untuk meredakan emosinya.
"Dia gak akan tau. Setelah kejadian itu kita gak tau dia ada di mana," kata Lavino sambil bersandar pada kursi.
"Dia kabur?" tanya Taksa dengan wajah terkejut.
"Kayanya iya."
"Bukannya bagus kalo dia minggat? Bahkan gua berdoa biar dia gak balik lagi. Karna adanya dia itu bener-bener nyusahin tau gak!" timpal Mark yang kembali menegakkan tubuhnya.
"Tapi makin nyusahin kalo dia ada di luar sana. Dia bakal ngelakuin apa aja selama emosinya gak kekontrol," jelas Taksa yang disetujui oleh Lavino.
"Taksa!" panggil Salsa yang baru saja datang dan duduk di samping Lavino.
"Sakya udah balik?" tanya Taksa.
Salsa menggeleng, kemudian berucap. "setelah ini lo jangan ikut campur sama rencana kita lagi yah, udah cukup Sakya bikin lo menderita kaya gini," ujar Salsa dengan wajah yang terlihat menyesal.
"Kalo gua gak ikut serta lagi, terus nanti yang bakal jadi pelampiasan emosinya Sakya siapa? Elo? Atau kalian berdua?" tanya Taksa sambil menatap Salsa, Lavino dan Mark secara bergantian.
"Salsa bener, Taks. Kita gak mau terjadi sesuatu sama lo lagi. Biar kita aja yang jadi pelampiasan emosi dia," ujar Lavino.
Taksa menggeleng pelan, "gua gak mau berenti. Biarin dia ngelakuin apa yang dia mau, dari awal yang dia benci itu gua dan gua berhak jadi pelampiasan emosinya dia."
"Astaga, Taks! Seenganya lo lawan dia kek. Kasih dia pelajaran! jangan diem aja," cibir Mark dengan kesal.
Taksa tertawa mendengarnya. Sebenarnya ia ingin. Bahkan benar-benar ingin memberi pelajaran pada Sakya. Namun di setiap ia ingin melakukannya, Sakya kecil yang selalu melindunginya dulu selalu saja muncul di pikirannya, membuatnya ragu dan berakhir mengurungkan niatnya itu.
"Sebenernya apa yang terjadi antara lo berdua sampe Sakya begitu benci sama lo, Taks?" tanya Salsa yang begitu penasaran dengan masa lalu Kakak-Adik ini.
Taksa menghela napas, menundukkan kepalanya sesaat sebelum ia menatap bingkai poto yang terpajang jelas di dinding kamarnya.
"Dulu sebelum Nyokap gua meninggal. Gua sama Sakya itu deket banget, bahkan gak pernah mau saling menjauh. Tapi ... di hari yang gak pernah gua mau pun Sakya mau kita satu keluarga kecelekaan, mobil yang dibawa sama Bokap kita jatuh kejurang ..." Taksa menjeda ceritanya, menarik napas panjang saat dadanya terasa sesak.
"Saat kecelakan itu yang paling parah gua," Taksa kembali menjeda ucapannya, membuka satu kancing kemejanya dan menujukan luka jait pada Salsa.
"Tepat di dada gua, gua ketusuk batang pohon yang tembus ke jantung gua. Kondisi Nyokap gua di sana sekarat karna posisinya dia lagi meluk Sakya, nyelamatin Sakya dari batang pohon yang ternyata malah kena gua. Sedangkan Bokap dan Sakya cuman luka ringgan doang—"
"Lah gila bangsat! Udah diselametin malah gak tau terimakasih!" sela Mark dengan penuh emosi.
"Mark! Lo udah tau ceritanya. Jadi diem bangsat!" umpat Lavino dengan kesal.
"Terus?" tanya Salsa yang sedari tadi diam mendengarkan.
"Saat Sakya sadar dia bener-bener hancur karna gua bakal mati kalo gak ada jantung yang mau didonorin buat gua. Dan tanpa diduga Nyokap yang udah sekarat malah ngorbanin nyawanya—Dia kasih jantungnya buat gua biar gua tetap hidup." Taksa menyentuh dadanya tepat pada jantungnya yang berdetak.
"Saat itu Nyokap tau betul sesayang apa Sakya sama gua, bahkan Nyokap tau kalo Sakya bakal hancur kalo gua mati. Makanya dia kasih jantungnya ke gua dan ngebiarin dirinya meninggal demi gua—larat. Lebih tepatnya demi Sakya biar gak hancur."
"Terus ... alasan Sakya benci sama lo dengan teramat sangat itu, gara-gara apa?" tanya Salsa, jawaban dari pertanyaanya lah yang sedari tadi ia tunggu.
"Nyokap gua ternyata salah besar setelah kasih jantungnya ke gua. Ternyata yang bikin sakya bener-bener hancur itu bukan gua, tapi Nyokap."
"Saat Sakya tau kalo jantung yang ada di tubuh gua ini jantung Nyokap. Dia langsung benci sama gua, dia ngiranya gua yang bunuh Nyokap dan izinin Nyokap pergi."
Tatapan Taksa pada beberapa bingkai poto yang terpajang cantik di dinding kamarnya itu benar-benar kosong. Ada banyak kesedihan dari balik sorot matanya itu.
"Dari situ dia benci banget sama gua, bahkan beribu cara dia lakuin buat bunuh gua cuman karna pengen Nyokap balik lagi. Tapi setiap dia ingin bunuh gua, gua selalu selamat. Itu yang bikin dia bener-bener benci gua dan pengen banget gua mati."
Salsa benar-benar dibuat terkejut dengan alasan kebencian Sakya itu pada Taksa. Namun masih ada sesuatu yang masih ia tidak ketahui dari pemuda itu.
"Apa dari dulu Sakya kasar sama lo?" tanya Salsa.
"Yah engga lah. Dia bahkan lembut banget sama gua, penyayang dan baik hati."
"Sakya yang selama ini kita kenal itu bukan Sakya yang sebenernya. Sakya kasar, gak punya hati, gila dan bahkan brengsek yang kita kenal itu karna luka dan kesedihan yang selama ini dia dapat. Kalo lo pengen tau alasan Sakya kaya gitu, coba lo tanyain ke orang tua lo Sal. Mereka tau semuanya tentang Sakya," jelas Taksa pada Salsa. Ia tau betul jika gadis di hadapannya ini pasti masih belum puas dengan penjelasannya barusan, apalagi ia semakin membuat Salsa penasaran dengan ucapannya yang tidak ia beritahu semuanya.
"Oke! Dongeng sebelum tidur selesai. Malem ini kita nginep di sini dan lo Taksa harus istirahat biar cepet sembuh!" Lavino berdiri dari tempatnya, membantu Taksa berbaring dan menyelimuti tubuh pemuda itu bak seorang Ayah pada Putra kecilnya.
"Anterin Salsa balik dulu, gua gak mau bikin Sakya emosi lagi kalo dia tau Salsa nginep di sini," kata Taksa dengan tatapan memohon pada Lavino.
"Sakya lagi ketemu sama malaikat. Dia gak bakal tau, jadi lo jangan khawatir," celetuk Mark tanpa dosanya, kemudian ikut masuk ke dalam selimut yang dikenakan oleh Taksa.
"Turun bangsat! Lo tidur di kamar Sakya sama gua!" titah Lavino dengan tegas.
"Nyantai aja bego. Lo anterin Salsa balik dulu aja, nanti baru pindahin gua ke kamar Sakya," ucap Mark dengan santainnya. Padahal ia baru saja bilang agar Taksa tidak khawatir pada Sakya.
Lavino memutarkan bola matanya, kemudian beralih menatap Salsa.
"Ayo Sal. Balik," ajak Lavino yang disetujui oleh Salsa.
"Lo harus banyak istirahat yah," titah Salsa yang diberi anggukkan oleh Taksa.
"Gua balik dulu," pamit Salsa dan berlalu pergi bersama Lavino.
"Lo masih cinta sama Salsa?" tanya Mark dengan wajah tanpa dosanya.
"Engga terlalu sih." jawab Taksa dan langsung memunggungi Mark.
"Itu artinya lo masih ada rasa sama Salsa bego!" kesal Mark saat Taksa terlihat santai saat mengucapkannya.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐚𝐤𝐲𝐚: 𝐈'𝐦 (𝐧𝐨𝐭) 𝐨𝐤𝐚𝐲!✔
Teen Fiction❝𝐇𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐢𝐧𝐠𝐢𝐧 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐠𝐢𝐚 𝐭𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐭𝐞𝐫𝐮𝐬 𝐝𝐢𝐛𝐮𝐧𝐮𝐡 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐩𝐞𝐫𝐤𝐚𝐭𝐚𝐚𝐧.❝ ▪︎▪︎▪︎ Sakya hanyalah seorang anak yang dibenci oleh suatu hal yang tak seharusnya dilimpahkan kepadanya. Dibenci hanya karena ketida...